Thursday, February 28, 2019

Cerita Dewasa Terbaru Nikmatnya Mencicipi Memek ABG SMP Di Kelas


Cerita Dewasa Terbaru Nikmatnya Mencicipi Memek ABG SMP Di Kelas

Pembaca Cerita Dewasa perkenalkan namaku Neny ,aku punya kawan yang bernama Windy, kami bersahabat sangat akrab. boleh dikatakan aku sahabat karibnya baik duka maupun senang kami selalu bersama-sama. 
Setelah pulang dari berlibur ke rumah tanteku di Bogor yang mana Windy pergi dengan kekasihnya yang sedikit agak berumur .kalau tidak salah tafsir mungkin usianya sekitar 39 tahun, kami mulai masuk sekolah dan sudah 2 minggu peristiwa itu berlalu. 

Pada suatu saat sewaktu istirahat saya berdua Windy makan bakso, setelah selesai kami ber bincang-bincang, Windy menceritakan sewaktu pergi ke Bandung bersama kekasihnya yang om- om itu.
Semua diceritakan kepadaku, baru sekali itulah katanya Windy merasakan kenikmatan yang seakan-akan Windy pergi ke surga, berapa kali windy melakukan dengan kekasihnya diceritakan semuanya kepadaku. 
Mendengar cerita Windy aku betul2 tertarik bahkan terangsang akan pengalaman pertama Windy, yang katanya terasa sampai ke ubun2, aku diam2 punya rasa keinginan untuk kenal lebih dekat dengan yang dimaksud kekasih Windy itu.
saya betul betul terpengaruh oleh cerita Windy , pakah betul sampai keubun ubun nikmatnya???????
Walau umurku baru 15 tahun sama dengan umur Windy dan badanku yang mungil dibalut dengan kulit putih seperti Windy dan tetekku yang baru nyembul tumbuh, aku sudah sangat ingin mencoba seperti apa yang pernah dialami Windy 

hingga….Pada suatu saat hari sabtu sore aku pergi ke Mall disuruh ibuku beli minyak goreng dan mie….., kebetulan aku ketemu dengan kekasih Windy yang sedang belanja juga, aku masih ingat betul walau kami baru ketemu sepintas. 
Aku menyapa dengan sopan, “Sore Oom, belanja Oom” sapaku sopan, dijawab dengan lembut” iya, siapa ya?” jawabnya, “saya temen Windy Oom, lupa ya, yang diantar ke Bogor, kerumah tante” jawabku, “Ooh, ya Oom ingat sekarang, sedang belanja juga?”

BIRPOKER Agen Poker Capsa Domino Bandar Q Online Terbaik

“ya, Oom, disuruh ibu” jawabku, dan kami sambil jalan ngobrol biasa-biasa saja, aku pikir bagaimana caranya agar aku bisa sama2 bapak ini, lalu aku bilang “Oom, tinggal dimana?” lalu dijawabnya disuatu komplek didaerahku. 
Lalu aku pancing ” Boleh Oom, Neny main kerumah Oom ” tanyaku, ” Boleh2, kapan mau kerumah Oom, silakan” jawabnya, perasaanku betul2 gembira nah, berhasil aku mendekatinya, lalu aku bilang ” Besok boleh Oom ???” 
” Boleh, jam berapa, dirumah Oom sepi lho, tante sedang ke Bandung, jadi Oom tidak ada apa2, tapi nanti Oom beli kue saja buat besok”, dan kamipun berpisah sebab aku keburu-buru ditunggu ibuku. 
Besoknya hari Minggu pagi2 kira2 jam 09.00 aku berangkat kerumah kekasih Windy, tak berapa lama akupun sampai dikomplek yang disebutkan, lalu aku tanya satpam komplex dimana alamat yang dimaksud………ahirnya ketemu juga…. 

Akupun masuk kehalaman rumahnya dan aku pencet bell, tidak lama keluar kekasih windy…. dan dengan sapa yang halus menyapaku ” selamat pagi, Neny, sendirian ya ” sapanya, ” ya oom “, lalu aku dipersilahkan duduk dan Bapak pergi ke belakang. 
Tak berapa lama om Idola keluar membawa minuman hangat dan kue yang kemarin dibelinya di Mall, ” silahkan diminum dan dicicip kuenya ” aku menganggukkan kepala saja sebab perasaanku sudah betul2 ngebet ingin merasakan apa yang diceritakan Windy. 
Kami duduk bincang2 layaknya bapak dengan anak, lalu aku geser dudukku, ” Boleh Neny duduk dekat Oom ” pintaku, ” Boleh silahkan “, waduh sseerrr rasanya, aku duduk disebelah kirinya dan aku baca majalah Tempo yang ada dimeja. 
tapi kemudian tidak lama kemudian aku ditawarin majalah yang ….yaaa…ampun gambarnya berisikan gambar yang menampilkan hubungan suami…isteri……sekilas kulihat nama majalah itu tertulis didepannya playboy…..,aku benar benar terangsang………….badanku gemetar….menahan perasaaan yang baru kali ini aku rasakan……….rupanya OM agus begitu namanya kuketahui setelah kutanyakan pada beliau…..telah mengetahui keadaanku…….ia merapatkan tubuhnya kesampingku sambil melingkarkan tangannya kepundakku…….tak lama kemudian jaritangannya merabah kupingku……aku kian bergetar………….om Agus kian menggeserkan duduknya, lantas ia merebahkan kepalaku dipangkuannya………..




Sambil tiduran aku tetap membolak balik majalah playboy itu…….mataku telah nanar dikuasai birahi remajaku……..aku menggeserkan kepalaku dipangkuandipangkuannya karena terasa ada benda keras yang mengganjal belakang leherku….., kalau aku miringkan persis hidungku kena selangkangannya yang menonjol itu……..om Agus diam sambil baca koran. 
Lama2 aku beranikan diriku, pura2 aku tertidur lalu kumiringkan badanku tepat aku menindih……tonjolan itu………dan dengan menggeser kepalaku sedikit kebelakang maka nampakklah benda yang menonjol dibalik celana pendek om agus………….tanganku kuletakkan diatas tonjolan itu dan kudengar om Agus menhela nafas panjang…..ia tergelinjang …..ketika tonjolan itu ku gesek gesek dengan lenganku……gilakah aku ????pikirku…… 
lalu….. dengan tenang dielusnya tanganku dan makin dibimbingnya menuju tonjolan tadi seakan menyuruhku untuk meremasnya…………. 
rupanya tonjolan tadi namanya adalah Kontol……….. 

Tangan Oom menggosok-gosok lengan atasku aku sudah betul2 napsu, aku makin kuat pegang kontol Oom, tiba2 aku diangkat dipopongnya dibawa masuk ke kamarnya, sampai dikamar dibukanya bajuku dan minisetku, lalu rokku dilepasnya tinggal CD saja. 
Aku ditidurkan ditempat tidur yang empuk, kemudian aku diciuminya dengan lembut, aduuhh maakk aku semakin terangsang, digosoknya toketku dengan tangannya yang besar dan pentilku yang baru segede kedele diisapnya, adduuuhhhhkk bener kata Windy enaknya. 
Pelan2 ditariknya CD ku lalu digosoknya memekku dengan jarinya pas kena itilku yang baru sebesar biji kedele, terasa basah memekku keluar cairan, aku meraba mencari kontol Oom, yang masih pakai celana pendek, …
wwuuuuiii besarnya bukan main. 

Aku berpikir apa bisa masuk ke memekku kontol sebesar itu, ada rasa ngeri juga tapi aku abaikan aku sudah betul2 ngebet, eeehhhh diisapnya memekku dan dijilatinya, aduhhhh ennnuuuaaaakkkkk Ooooommmmm, terussssss pintaku, sambil dijilati memekku tangan Oom pegang toketku. 
Aku sampai menggelinjang pantatku terangkat saking enaknya, Oooommmmm teeeerrruuuussss Oooooommmm, kembali aku diciuminya leherku toketku dicium, lalu diisapnya, ketekku dicium pangkal toketku dicium lalu diisapnya, kembali pentilku diisapnya adduuuhhh rasanya sampai ke ubun-ubun. 
Aku diangkat lagi lalu dipangkunya sambil diisap toketku aduh aku betul2 ke surga Windy betul katamu, aku merasakan sekarang, eeehhhh kontolnya di gosok2kan dimemekku aduuhh mmaaakkk, eeeuuunnaaakk Oommmmm rintihku, ujung jarinya dimasukkan ke lubang memekku aduh sakit Oomm, aku dicium lagi. 
“Neny engkau pingin merasakan lebih enak, ya” tanyanya ” Iiiyyyaaaa OOoooommmm ” jawabku, ” Neny sedikit sakit ya nanti lama-lama hilang sakitnya ” kata Oom ” terserah Oom , neny ingin merasakan kenikmatan Oom ” kataku, pelan2 dimasukkan ujung kontolnya, aku merintih kesakitan.




” Pelan Oom, sakiitt ” rintihku, digosoknya lagi dan didorongnya lagi, hal itu dilakukan berkali-kali dan sakitnya waktu kontolnya didorong, tapi hilang rasa sakitnya kalau kontol Oom di gosok2kan di bibir memekku yang tipis dan tahu2 ssrrreeetttt, szssrreeeettt, “sakit Oom ‘ teriakku, masuklah kontolnya ke memekku walau hanya sedikit. 
Aku diciumnya lagi digigitnya toketku, diisapnya pentilku, sambil badanku digosok-gosok paka tangannya, aduuuhhhh Oom saaakkiiittt rintihku, lalu diciumnya lagi, eh lama2 hilang rasa sakitnya, aku mulai sedikit merasakan enaknya, diangkatnya badanku lalu diturunkannya lagi, sampai berkali-kali. 
Aduh rasanya semakin enak, tahu2 aku merasakan nikmat yang belum pernah aku rasakan, sampai aku gigit dada Oom, aaaddduuuuuhhhh, aaaaauuuuggghhhhh oooooommmm, aaaauuuggghhhh, oooommmmm, lalu aku lemas tapi masi dipangkuannya dan kontol Oom masih didalam memekku, aku menyaksikan percikan darah perawan ku membasahi kain sprei tempat tidur om agus…..dan sebagian belepotan dipangkal kontol om dan juga ada nempel di pahanya…………ohhhh aku gak perawan lagi………tapi peduli amat…….nikmatnya mengalahkan semua pikiranku tentang arti sebuah keperawanan………. 

Mulai lagi pentilku diisapnya dan diciumminya lagi, mulai aku terangsang lagi, aku coba menggeser dudukku dipangkuan oom tapi kontol Oom seakan-akan lengket dengan memekku, lalu aku digendongnya masih dalam posisi kontol dimemekku dan aku ditidurkan ditempat tidur Oom, aduhh Oommm teeerrrruuusssss Ooommm. 
Pantat Oom dinaik turunkan aku menggelinjang, kepalaku goyang kiri goyang kanan saking enaknya dan Aaaauuuuuggghhhh aaaaacccchhhh uuuuugggghhh Oooooommmm eeennnaaaakkk pekikku, gila betul2 enak rasanya aku sudah entah berapa kali orgasme alias keluar, lalu pelan2 oom naikturunkan pantatnya. 
Eeehh tahu2 Oom menggerakkan lagi pantatnya dan aaaadduuuhhh Ooooooommmmmm pekikku Neny kepengen pipisssss ommmmm……pipis aja kata om Agus……. Ooooooommmmm dan cccrreetttt, creeeettttt terasa panas ……ada yang mengalir dari dalam…..tapi bukan pipisss….badanku bergetar…..kuat sekali ….tanganku mencengkram bahu om agusss…ahhhhh….dunia ini putih semua…..enak yang tak dapat lagi diucapkan dengan katakata……………. rupanya Oom juga pipisss…. dan disemprotkan didalam memekku , aduh enaknya sampai mataku berat susah dibuka rasanya. 

Aku terbangun ternyata aku tertidur diatas Oom, dan kontol Oom masih didalam memekku, pentilkuku digigit dan dicium lagi sampai mataku terasa terbalik saking enaknya dan tahu2 sret kontol Oom dicabut dari memekku lalu aku ditelentangkan kakiku dikangkangkan dan aduh rasanya rambutku terasa mau copot memekku dijilati lagi. 
Lama memekku dijilati dan itilku digigit-gigit aku kali ini betul2 terangsang berat, aku tarik kontol Oom aku bimbing kelubang memekku dan cret, cret oom tekan langsung masuk kontolnya lalu diturun naikkan, aku betul2 me layang2 disurga rasanya dan aku tarik dada oom kugigit aku pipisssss lagi…. 
oooohhhhh ommmmmmm enakkkkkk ommmmmmmmmm. 

Oom masih terus memainkan kontolnya yang masuk dimemekku, kali ini aku gantungkan diriku dibadan oom dan ccrreeettt, ccrrreeetttt uuugggghhhh, aaaaccchhhh aaaadddduuuuuhhhhh ooooooommmmmm, didalam memekku terasa hangat lagi kena semprot air pipis putih…..dari oom.
Entah sampai jam berapa hari itu, kami sampai lupa makan siang tahu2 sudah jam 17.00 sore, aku tidur didekap Oom, kira2 jam 19.00 aku dibagunkan disuruh mandi lalu makan dan diantarkan pulang, sampai dirumah jam 20.00 aku bilang dari rumah Windy belajar, makasih Oom 
Nah sekian dulu pengalaman pertamaku dengan om Agus……..kekasih sahabatku.



Cerita Dewasa Terbaru Kenikmatan Pesta Seks Bersama Memek Perawan


Cerita Dewasa Terbaru Kenikmatan Pesta Seks Bersama Memek Perawan

Dengan langkah ragu-ragu aku mendekati ruang dosen di mana Pak Hr berada.“Winda…”, sebuah suara memanggil.“Hei Ratna!”.“Ngapain kau cari-cari dosen killer itu?”, Ratna itu bertanya heran.“Tau nih, aku mau minta ujian susulan, sudah dua kali aku minta diundur terus, kenapa ya?”.“Idih jahat banget!”.
“Makanya, aku takut nanti di raport merah, mata kuliah dia kan penting!, tauk nih, bentar ya aku masuk dulu!”.“He-eh deh, sampai nanti!” Ratna berlalu.Dengan memberanikan diri aku mengetuk pintu.“Masuk…!”, Sebuah suara yang amat ditakutinya menyilakannya masuk.“Selamat siang pak!”.“Selamat siang, kamu siapa?”, tanyanya tanpa meninggalkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
“Saya Winda…!”.
“Aku..? Oh, yang mau minta ujian lagi itu ya?”.
“Iya benar pak.”
“Saya tidak ada waktu, nanti hari Mminggu saja kamu datang ke rumah saya, ini kartu nama saya”, Katanya acuh tak acuh sambil menyerahkan kartu namanya.“Ada lagi?” tanya dosen itu.
“Tidak pak, selamat siang!”
“Selamat siang!”.Dengan lemas aku beranjak keluar dari ruangan itu. Kesal sekali rasanya, sudah belajar sampai larut malam, sampai di sini harus kembali lagi hari Minggu, huh!
Mungkin hanya akulah yang hari Minggu masih berjalan sambil membawa tas hendak kuliah. Hari ini aku harus memenuhi ujian susulan di rumah Pak Hr, dosen berengsek itu.
Rumah Pak Hr terletak di sebuah perumahan elite, di atas sebuah bukit, agak jauh dari rumah-rumah lainnya. Belum sempat memijit Bel pintu sudah terbuka, Seraut wajah yang sudah mulai tua tetapi tetap segar muncul.
“Ehh…! Winda, ayo masuk!”, sapa orang itu yang tak lain adalah pak Hr sendiri.
“Permisi pak! Ibu mana?”, tanyaku berbasa-basi.
“Ibu sedang pergi dengan anak-anak ke rumah neneknya!”, sahut pak Hr ramah.
“Sebentar ya…”, katanya lagi sambil masuk ke dalam ruangan.
Tumben tidak sepeti biasanya ketika mengajar di kelas, dosen ini terkenal paling killer.
Rumah Pak Hr tertata rapi. Dinding ruang tamunya bercat putih. Di sudut ruangan terdapat seperangkat lemari kaca temapat tersimpan berbagai barang hiasan porselin. Di tengahnya ada hamparan permadani berbulu, dan kursi sofa kelas satu.

BIRPOKER Agen Poker Capsa Domino Bandar Q Online Terbaik

“Gimana sudah siap?”, tanya pak Hr mengejutkan aku dari lamunannya.
“Eh sudah pak!”
“Sebenarnya…, sebenarnya Winda tidak perlu mengikuti ulang susulan kalau…, kalau…!”
“Kalau apa pak?”, aku bertanya tak mengerti. Belum habis bicaranya, Pak Hr sudah menuburuk tubuhku.
“Pak…, apa-apaan ini?”, tanyaku kaget sambil meronta mencoba melepaskan diri.
“Jangan berpura-pura Winda sayang, aku membutuhkannya dan kau membutuhkan nilai bukan, kau akan kululuskan asalkan mau melayani aku!”, sahut lelaki itu sambil berusaha menciumi bibirku.
Serentak Bulu kudukku berdiri. Geli, jijik…, namun detah dari mana asalnya perasaan hasrat menggebu-gebu juga kembali menyerangku. Ingin rasanya membiarkan lelaki tua ini berlaku semaunya atas diriku. Harus kuakui memang, walaupun dia lebih pantas jadi bapakku, namun sebenarnya lelaki tua ini sering membuatku berdebar-debar juga kalau sedang mengajar. Tapi aku tetap berusaha meronta-ronta, untuk menaikkan harga diriku di mata Pak Hr.
“Lepaskan…, Pak jangan hhmmpppff…!”, kata-kataku tidak terselesaikan karena terburu bibirku tersumbat mulut pak Hr.
Aku meronta dan berhasil melepaskan diri. Aku bangkit dan berlari menghindar. Namun entah mengapa aku justru berlari masuk ke sebuah kamar tidur. Kurapatkan tubuhku di sudut ruangan sambil mengatur kembali nafasku yang terengah-engah, entah mengapa birahiku sedemikian cepat naik. Seluruh wajahku terasa panas, kedua kakikupun terasa gemetar.



Pak Hr seperti diberi kesempatan emas. Ia berjalan memasuki kamar dan mengunci pintunya. Lalu dengan perlahan ia mendekatiku. Tubuhku bergetar hebat manakala lelaki tua itu mengulurkan tangannya untuk merengkuh diriku. Dengan sekali tarik aku jatuh ke pelukan Pak Hr, bibirku segera tersumbat bibir laki-laki tua itu. Terasa lidahnya yang kasap bermain menyapu telak di dalam mulutku. Perasaanku bercampur aduk jadi satu, benci, jijik bercampur dengan rasa ingin dicumbui yang semakin kuat hingga akhirnya akupun merasa sudah kepalang basah, hati kecilku juga menginginkannya. Terbayang olehku saat-saat aku dicumbui seperti itu oleh Aldy, entah sedang di mana dia sekarang. aku tidak menolak lagi. bahkan kini malah membalas dengan hangat.
Merasa mendapat angin kini tangan Pak Hr bahkan makin berani menelusup di balik blouse yang aku pakai, tidak berhenti di situ, terus menelup ke balik beha yang aku pakai.
Jantungku berdegup kencang ketika tangan laki-laki itu meremas-remas gundukan daging kenyal yang ada di dadaku dengan gemas. Terasa benar, telapak tangannya yang kasap di permukaan buah dadaku, ditingkahi dengan jari-jarinya yang nakal mepermainkan puting susuku. Gemas sekali nampaknya dia. Tangannya makin lama makin kasar bergerak di dadaku ke kanan dan ke kiri.
Setelah puas, dengan tidak sabaran tangannya mulai melucuti pakaian yang aku pakai satu demi satu hingga berceceran di lantai. Hingga akhirnya aku hanya memakai secarik G-string saja. Bergegas pula Pak Hr melucuti kaos oblong dan sarungnya. Di baliknya menyembul batang penis laki-laki itu yang telah menegang, sebesar lengan Bayi.
Tak terasa aku menjerit ngeri, aku belum pernah melihat alat vital lelaki sebesar itu. Aku sedikit ngeri. Bisa jebol milikku dimasuki benda itu. Namun aku tak dapat menyembunyikan kekagumanku. Seolah ada pesona tersendiri hingga pandangan mataku terus tertuju ke benda itu. Pak Hr berjalan mendekatiku, tangannya meraih kunciran rambutku dan menariknya hingga ikatannya lepas dan rambutku bebas tergerai sampai ke punggung.
“Kau Cantik sekali Winda…”, gumam pak Hr mengagumi kecantikanku.
Aku hanya tersenyum tersipu-sipu mendengar pujian itu.
Dengan lembut Pak Hr mendorong tubuhku sampai terduduk di pinggir kasur. Lalu ia menarik G-string, kain terakhir yang menutupi tubuhku dan dibuangnya ke lantai. Kini kami berdua telah telanjang bulat. Tanpa melepaskan kedua belah kakiku, bahkan dengan gemas ia mementangkan kedua belah pahaku lebar-lebar. Matanya benar-benar nanar memandang daerah di sekitar selangkanganku. Nafas laki-laki itu demikian memburu.
Tak lama kemudian Pak membenamkan kepalanya di situ. Mulut dan lidahnya menjilat-jilat penuh nafsu di sekitar kemaluanku yang tertutup rambut lebat itu. Aku memejamkan mata, oohh, indahnya, aku sungguh menikmatinya, sampai-sampai tubuhku dibuat menggelinjang-gelinjang kegelian.
“Pak…, aku tak tahan lagi…!”, aku memelas sambil menggigit bibir. Sungguh aku tak tahan lagi mengalamai siksaan birahi yang dilancarkan Pak Hr. Namun rupanya lelaki tua itu tidak peduli, bahkan senang melihat aku dalam keadaan demikian. Ini terlihat dari gerakan tangannya yang kini bahkan terjulur ke atas meremas-remas payudaraku, tetapi tidak menyudahi perbuatannya. Padahal aku sudah kewalahan dan telah sangat basah kuyup.
“Paakk…, aakkhh…!”, aku mengerang keras, kakinya menjepit kepala Pak Hr melampiaskan derita birahiku, kujambak rambut Pak Hr keras-keras. Kini aku tak peduli lagi bahwa lelaki itu adalah dosen yang aku hormati. Sungguh lihai laki-laki ini membangkitkan gairahku. aku yakin dengan nafsunya yang sebesar itu dia tentu sangat berpengalaman dalam hal ini, bahkan sangat mungkin sudah puluhan atau ratusan mahasiswi yang sudah digaulinya. Tapi apa peduliku?
Tiba-tiba Pak Hr melepaskan diri, lalu ia berdiri di depanku yang masih terduduk di tepi ranjang dengan bagian bawah perutnya persis berada di depan wajahku. aku sudah tahu apa yang dia mau, namun tanpa sempat melakukannya sendiri, tangannya telah meraih kepalaku untuk dibawa mendekati kejantanannya yang aduh mak.., Sungguh besar itu.
Tanpa melawan sama sekali aku membuka mulut selebar-lebarnya, Lalu kukulum sekalian alat vital Pak Hr ke dalam mulutku hingga membuat lelaki itu melek merem keenakan. Benda itu hanya masuk bagian kepala dan sedikit batangnya saja ke dalam mulutku. Itupun sudah terasa penuh. Aku hampir sesak nafas dibuatnya. Aku pun bekerja keras, menghisap, mengulum serta mempermainkan batang itu keluar masuk ke dalam mulutku. Terasa benar kepala itu bergetar hebat setiap kali lidahku menyapu kepalanya.
Beberapa saat kemudian Pak Hr melepaskan diri, ia membaringkan aku di tempat tidur dan menyusul berbaring di sisiku, kaki kiriku diangkat disilangkan di pinggangnya. Lalu Ia berusaha memasuki tubuhku belakang. Ketika itu pula kepala penis Pak Hr yang besar itu menggesek clitoris di liang senggamaku hingga aku merintih kenikmatan. Ia terus berusaha menekankan miliknya ke dalam milikku yang memang sudah sangat basah. Pelahan-lahan benda itu meluncur masuk ke dalam milikku.
Dan ketika dengan kasar dia tiba-tiba menekankan miliknya seluruhnya amblas ke dalam diriku aku tak kuasa menahan diri untuk tidak memekik. Perasaan luar biasa bercampur sedikit pedih menguasai diriku, hingga badanku mengejang beberapa detik.
Pak Hr cukup mengerti keadaan diriku, ketika dia selesai masuk seluruhnya dia memberi kesempatan padaku untuk menguasai diri beberapa saat. Sebelum kemudian dia mulai menggoyangkan pinggulnya pelan-pelan kemudian makin lama makin cepat.
Aku sungguh tak kuasa untuk tidak merintih setiap Pak Hr menggerakkan tubuhnya, gesekan demi gesekan di dinding dalam liang senggamaku sungguh membuatku lupa ingatan. Pak Hr menyetubuhi aku dengan cara itu. Sementara bibirnya tak hentinya melumat bibir, tengkuk dan leherku, tangannya selalu meremas-remas payudaraku. Aku dapat merasakan puting susuku mulai mengeras, runcing dan kaku.
Aku bisa melihat bagaimana batang penis lelaki itu keluar masuk ke dalam liang kemaluanku. Aku selalu menahan nafas ketika benda itu menusuk ke dalam. Milikku hampir tidak dapat menampung ukuran Pak Hr yang super itu, dan ini makin membuat Pak Hr tergila-gila.
Tidak sampai di situ, beberapa menit kemudian Pak Hr membalik tubuhku hingga menungging di hadapannya. Ia ingin pakai doggy style rupanya. Tangan lelaki itu kini lebih leluasa meremas-remas kedua belah payudara aku yang kini menggantung berat ke bawah. Sebagai seorang wanita aku memiliki daya tahan alami dalam bersetubuh. Tapi bahkan kini aku kewalahan menghadapi Pak Hr. Laki-laki itu benar-benar luar biasa tenaganya. Sudah hampir setengah jam ia bertahan. Aku yang kini duduk mengangkangi tubuhnya hampir kehabisan nafas.
Kupacu terus goyangan pinggulku, karena aku merasa sebentar lagi aku akan memperolehnya. Terus…, terus…, aku tak peduli lagi dengan gerakanku yang brutal ataupun suaraku yang kadang-kadang memekik menahan rasa luar biasa itu. Dan ketika klimaks itu sampai, aku tak peduli lagi…, aku memekik keras sambil menjambak rambutnya. Dunia serasa berputar. Sekujur tubuhku mengejang. Sungguh hebat rasa yang kurasakan kali ini. Sungguh ironi memang, aku mendapatkan kenikmatan seperti ini bukan dengan orang yang aku sukai. Tapi masa bodohlah.
Berkali-kali kuusap keringat yang membasahi dahiku. Pak Hr kemudian kembali mengambil inisiatif. kini gantian Pak Hr yang menindihi tubuhku. Ia memacu keras untuk mencapai klimaks. Desah nafasnya mendengus-dengus seperti kuda liar, sementara goyangan pinggulnya pun semakin cepat dan kasar. Peluhnya sudah penuh membasahi sekujur tubuhnya dan tubuhku. Sementara kami terus berpacu. Sungguh hebat laki-laki ini. Walaupun sudah berumur tapi masih bertahan segitu lama. Bahkan mengalahkan semua cowok-cowok yang pernah tidur denganku, walaupun mereka rata-rata sebaya denganku.
Namun beberapa saat kemudian, Pak Hr mulai menggeram sambil mengeretakkan giginya. Tubuh lelaki tua itu bergetar hebat di atas tubuhku. Penisnya menyemburkan cairan kental yang hangat ke dalam liang kemaluanku dengan derasnya.
Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan kami memisahkan diri. Kami terbaring kelelahan di atas kasur itu. Nafasku yang tinggal satu-satu bercampur dengan bunyi nafasnya yang berat. Kami masing-masing terdiam mengumpulkan tenaga kami yang sudah tercerai berai.
Aku sendiri terpejam sambil mencoba merasakan kenikmatan yang baru saja aku alami di sekujur tubuhku ini. Terasa benar ada cairan kental yang hangat perlahan-lahan meluncur masuk ke dalam liang vaginaku. Hangat dan sedikit gatal menggelitik.
Bagian bawah tubuhku itu terasa benar-benar banjir, basah kuyub. Aku menggerakkan tanganku untuk menyeka bibir bawahku itu dan tanganku pun langsung dipenuhi dengan cairan kental berwarna putih susu yang berlepotan di sana.
“Bukan main Winda, ternyata kau pun seperti kuda liar!” kata Pak Hr penuh kepuasan. Aku yang berbaring menelungkup di atas kasur hanya tersenyum lemah. aku sungguh sangat kelelahan, kupejamkan mataku untuk sejenak beristirahat. Persetan dengan tubuhku yang masih telanjang bulat.
Pak Hr kemudian bangkit berdiri, ia menyulut sebatang rokok. Lalu lelaki tua itu mulai mengenakan kembali pakaiannya. Aku pun dengan malas bangkit dan mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai.
Sambil berpakaian ia bertanya, “Bagaimana dengan ujian saya pak?”.
“Minggu depan kamu dapat mengambil hasilnya”, sahut laki-laki itu pendek.
“Kenapa tidak besok pagi saja?”, protes aku tak puas.
“Aku masih ingin bertemu kamu, selama seminggu ini aku minta agar kau tidak tidur dengan lelaki lain kecuali aku!”, jawab Pak Hr.
Aku sedikit terkejut dengan jawabannya itu. Tapi akupun segera dapat menguasai keadaanku. Rupanya dia belum puas dengan pelayanan habis-habisanku barusan.
“Aku tidak bisa janji!”, sahutku seenaknya sambil bangkit berdiri dan keluar dari kamar mencari kamar mandi. Pak Hr hanya mampu terbengong mendengar jawabanku yang seenaknya itu.
Aku sedang berjalan santai meninggalkan rumah pak Hr, ini pertemuanku yang ketiga dengan laki-laki itu demi menebus nilai ujianku yang selalu jeblok jika ujian dengan dia. Mungkin malah sengaja dibuat jeblok biar dia bisa main denganku. Dasar…, namun harus kuakui, dia laki-laki hebat, daya tahannya sungguh luar biasa jika dibandingkan dengan usianya yang hapir mencapai usia pensiun itu. Bahkan dari pagi hingga sore hari ini dia masih sanggup menggarapku tiga kali, sekali di ruang tengah begitu aku datang, dan dua kali di kamar tidur. Aku sempat terlelap sesudahnya beberapa jam sebelum membersihkan diri dan pulang. Berutung kali ini, aku bisa memaksanya menandatangani berkas ujian susulanku.
“Masih ada mata kuliah Pengantar Berorganisasi dan Kepemimpinan”, katanya sambil membubuhkan nilai A di berkas ujianku.
“Selama bapak masih bisa memberiku nilai A”, kataku pendek.
“Segeralah mendaftar, kuliah akan dimulai minggu depan!”.
“Terima kasih pak!” kataku sambil tak lupa memberikan senyum semanis mungkin.
“Winda!” teriakan seseorang mengejutkan lamunanku. Aku menoleh ke arah sumber suara tadi yang aku perkirakan berasal dari dalam mobil yang berjalan perlahan menghampiriku. Seseorang membuka pintu mobil itu, wajah yang sangat aku benci muncul dari balik pintu Mitsubishi Galant keluaran tahun terakhir itu.
“Masuklah Winda…”.
“Tidak, terima kasih. Aku bisa jalan sendiri koq!”, Aku masih mencoba menolak dengan halus.
“Ayolah, masa kau tega menolak ajakanku, padahal dengan pak Hr saja kau mau!”.
Aku tertegun sesaat, Bagai disambar petir di siang bolong.
“Da…,Darimana kau tahu?”.
“Nah, jadi benar kan…, padahal aku tadi hanya menduga-duga!”
“Sialan!”, Aku mengumpat di dalam hati, harusnya tadi aku bersikap lebih tenang, aku memang selalu nervous kalau ketemu cowok satu ini, rasanya ingin buru-buru pergi dari hadapannya dan tidak ingin melihat mukanya yang memang seram itu.
Seperti tipikal orang Indonesia bagian daerah paling timur, cowok ini hitam tinggi besar dengan postur sedikit gemuk, janggut dan cambang yang tidak pernah dirapikan dengan rambut keritingnya yang dipelihara panjang ditambah dengan caranya memakai kemeja yang tidak pernah dikancingkan dengan benar sehingga memamerkan dadanya yang penuh bulu. Dengan asesoris kalung, gelang dan cincin emas, arloji rolex yang dihiasi berlian…, cukup menunjukkan bahwa dia ini orang yang memang punya duit. Namun, aku menjadi muak dengan penampilan seperti itu.
Dino memang salah satu jawara di kampus, anak buahnya banyak dan dengan kekuatan uang serta gaya jawara seperti itu membuat dia menjadi salah satu momok yang paling menakutkan di lingkungan kampus. Dia itu mahasiswa lama, dan mungkin bahkan tidak pernah lulus, namun tidak ada orang yang berani mengusik keberadaannya di kamus, bahkan dari kalangan akademik sekalipun.
“Gimana? Masih tidak mau masuk?”, tanya dia setengah mendesak.
Aku tertegun sesaat, belum mau masuk. Aku memang sangat tidak menyukai laki-laki ini, Tetapi kelihatannya aku tidak punya pilihan lain, bisa-bisa semua orang tahu apa yang kuperbuat dengan pak Hr, dan aku sungguh-sungguh ingin menjaga rahasia ini, terutama terhadap Erwin, tunanganku. Namun saat ini aku benar benar terdesak dan ingin segera membiarkan masalah ini berlalu dariku. Makanya tanpa pikir panjang aku mengiyakan saja ajakannya.
Dino tertawa penuh kemenangan, ia lalu berbicara dengan orang yang berada di sebelahnya supaya berpindah ke jok belakang. Aku membanting pantatku ke kursi mobil depan, dan pemuda itu langsung menancap gas. Sambil nyengir kuda. Kesenangan.
“Ke mana kita?”, tanyaku hambar.
“Lho? Mestinya aku yang harus tanya, kau mau ke mana?”, tanya Dino pura-pura heran.
“Sudahlah Dino, tak usah berpura-pura lagi, kau mau apa?”, Suaraku sudah sedemikian pasrahnya. Aku sudah tidak mau berpikir panjang lagi untuk meminta dia menutup-nutupi perbuatanku. Orang yang duduk di belakangku tertawa.
“Rupanya dia cukup mengerti apa kemauanmu Dino!”, Dia berkomentar.
“Ah, diam kau Maki!” Rupanya orang itu namanya Maki, orang dengan penampilan hampir mirip dengan Dino kecuali rambutnya yang dipotong crew-cut.
“Bagaimana kalau ke rumahku saja? Aku sangat merindukanmu Winda!”, pancing Dino.
“Sesukamulah…!”, Aku tahu benar memang itu yang diinginkannya.
Dino tertawa penuh kemenangan.
Ia melarikan mobilnya makin kencang ke arah sebuah kompleks perumahan. Lalu mobil yang ditumpangi mereka memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Di pekarangan itu sudah ada 2 buah mobil lain, satu Mitsubishi Pajero dan satu lagi Toyota Great Corolla namun keduanya kelihatan diparkir sekenanya tak beraturan.
Interior depan rumah itu sederhana saja. Cuma satu stel sofa, sebuah rak perabotan pecah belah. Tak lebih. Dindingnya polos. Demikian juga tempok ruang tengah. Terasa betapa luas dan kosongnya ruangan tengah itu, meski sebuah bar dengan rak minuman beraneka ragam terdapat di sudut ruangan, menghadap ke taman samping. Sebuah stereo set terpasang di ujung bar. Tampaknya baru saja dimatikan dengan tergesa-gesa. Pitanya sebagian tergantung keluar.
Dari pintu samping kemudian muncul empat orang pemuda dan seorang gadis, yang jelas-jelas masih menggunakan seragam SMU. Mereka semua mengeluarkan suara setengah berbisik. Keempat orang laki-laki itu, tiga orang sepertinya sesuku dengan Dino atau sebangsanya, sedangkan yang satu lagi seperti bule dengan rambutnya yang gondrong. Sementara si gadis berperawakan tinggi langsing, berkulit putih dan rambutnya yang hitam lurus dan panjang tergerai sampai ke pinggang, ia memakai bandana lebar di kepalanya dengan poni tebal menutupi dahinya. Wajahnya yang oval dan bermata sipit menandakan bahwa ia keturunan Cina atau sebangsanya. Harus kuakui dia memang cantik, seperti bintang film drama Mandarin. Berbeda dengan penampilan ketiga laki-laki itu, gadis ini kelihatannya bukan merupakan gerombolan mereka, dilihat dari tampangnya yang masih lugu. Ia masih mengenakan seragam sebuah sekolah Katolik yang langsung bisa aku kenali karena memang khas. Namun entah mengapa dia bisa bergaul dengan orang-orang ini.
Dino bertepuk tangan. Kemudian memperkenalkan diriku dengan mereka. Yos, dan Bram seperti tipikal orang sebangsa Dino, Tito berbadan tambun dan yang bule namanya Marchell, sementara gadis SMU itu bernama Shelly. Mereka semua yang laki-laki memandang diriku dengan mata “lapar” membuat aku tanpa sadar menyilangkan tangan di depan dadaku, seolah-olah mereka bisa melihat tubuhku di balik pakaian yang aku kenakan ini.
Tampak tak sabaran Dino menarik diriku ke loteng. Langsung menuju sebuah kamar yang ada di ujung. Kamar itu tidak berdaun pintu, sebenarnya lebih tepat disebut ruang penyangga antara teras dengan kamar-kamar yang lain Sebab di salah satu ujungnya merupakan pintu tembusan ke ruang lain.
Di sana ada sebuah kasur yang terhampar begitu saja di lantai kamar. Dengan sprei yang sudah acak-acakan. Di sudut terdapat dua buah kursi sofa besar dan sebuah meja kaca yang mungil. Di bawahnya berserakan majalah-majalah yang cover depannya saja bisa membuat orang merinding. Bergambar perempuan-perempuan telanjang.
Aku sadar bahkan sangat sadar, apa yang dimaui Dino di kamar ini. Aku beranjak ke jendela. Menutup gordynnya hingga ruangan itu kelihatan sedikit gelap. Namun tak lama, karena kemudian Dino menyalakan lampu. Aku berputar membelakangi Dino, dan mulai melucuti pakaian yang aku kenakan. Dari blouse, kemudian rok bawahanku kubiarkan meluncur bebas ke mata kakiku. Kemudian aku memutar balik badanku berbalik menghadap Dino.
Betapa terkejutnya aku ketika aku berbalik, ternyata di hadapanku kini tidak hanya ada Dino, namun Maki juga sedang berdiri di situ sambil cengengesan. Dengan gerakan reflek, aku menyambar blouseku untuk menutupi tubuhku yang setengah telanjang. Melihat keterkejutanku, kedua laki-laki itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Ayolah Winda, Toh engkau juga sudah sering memperlihatkan tubuh telanjangmu kepada beberapa laki-laki lain?”.
“Kurang ajar kau Dino!” Aku mengumpat sekenanya.
Wajah laki-laki itu berubah seketika, dari tertawa terbahak-bahak menjadi serius, sangat serius. Dengan tatapan yang sangat tajam dia berujar, “Apakah engkau punya pilihan lain? Ayolah, lakukan saja dan sesudah selesai kita boleh melupakan kejadian ini.”
Aku tertegun, melayani dua orang sekaligus belum pernah aku lakukan sebelumnya. Apalagi orang-orang yang bertampang seram seperti ini. Tapi seperti yang dia bilang, aku tak punya pilihan lain. Seribu satu pertimbangan berkecamuk di kepalaku hingga membuat aku pusing. Tubuhku tanpa sadar sampai gemetaran, terasa sekali lututku lemas sepertinya aku sudah kehabisan tenaga karena digilir mereka berdua, padahal mereka sama sekali belum memulainya.
Akhirnya, dengan sangat berat aku menggerakkan kedua tangan ke arah punggungku di mana aku bisa meraih kaitan BH yang aku pakai. Baju yang tadi aku pakai untuk menutupi bagian tubuhku dengan sendirinya terjatuh ke lantai. Dengan sekali sentakan halus BH-ku telah terlepas dan meluncur bebas dan sebelum terjatuh ke lantai kulemparkan benda itu ke arah Dino yang kemudian ditangkapnya dengan tangkas. Ia mencium bagian dalam mangkuk bra-ku dengan penuh perasaan.
“Harum!”, katanya.
Lalu ia seperti mencari-cari sesuatu dari benda itu, dan ketika ditemukannya ia berhenti.
“36B!”, katanya pendek.
Rupanya ia pingin tahu berapa ukuran dadaku ini.
“BH-nya saja sudah sedemikian harum, apalagi isinya!”, katanya seraya memberikan BH itu kepada Maki sehingga laki-laki itu juga ikut-ikutan menciumi benda itu. Namun demikian mata mereka tak pernah lepas menatap belahan payudaraku yang kini tidak tertutup apa-apa lagi.
Aku kini hanya berdiri menunggu, dan tanpa diminta Dino melangkah mendekatiku. Ia meraih kepalaku. Tangannya meraih kunciran rambut dan melepaskannya hingga rambutku kini tergerai bebas sampai ke punggung.
“Nah, dengan begini kau kelihatan lebih cantik!”
Ia terus berjalan memutari tubuhku dan memelukku dari belakang. Ia sibakkan rambutku dan memindahkannya ke depan lewat pundak sebelah kiriku, sehingga bagian punggung sampai ke tengkukku bebas tanpa penghalang. Lalu ia menjatuhkan ciumannya ke tengkuk belakangku. Lidahnya menjelajah di sekitar leher, tengkuk kemudian naik ke kuping dan menggelitik di sana. Kedua belah tangannya yang kekar dan berbulu yang tadi memeluk pinggangku kini mulai merayap naik dan mulai meremas-remas kedua belah payudaraku dengan gemas. Aku masih menanggapinya dengan dingin dengan tidak bereaksi sama sekali selain memejamkan mataku.
Dino rupanya tidak begitu suka aku bersikap pasif, dengan kasar ia menarik wajahku hingga bibirnya bisa melumat bibirku. Aku hanya berdiam diri saja tak memberikan reaksi. Sambil melumat, lidahnya mencari-cari dan berusaha masuk ke dalam mulutku, dan ketika berhasil lidahnya bergerak bebas menjilati lidahku hingga secara tak sengaja lidahkupun meronta-ronta.
Sambil memejamkan mata aku mencoba untuk menikmati perasaan itu dengan utuh. Tak ada gunanya aku menolak, hal itu akan membuatku lebih menderita lagi. Dengan kuluman lidah seperti itu, ditingkahi dengan remasan-remasan telapak tangannya di payudaraku sambil sekali-sekali ibu jari dan telunjuknya memilin-milin puting susuku, pertahananku akhirnya bobol juga. Memang, aku sudah sangat terbiasa dan sangat terbuai dengan permaian seperti ini hingga dengan mudahnya Dino mulai membangkitkan nafsuku. Bahkan kini aku mulai memberanikan menggerakkan tangan meremas kepala Dino yang berada di belakangku. Sementara dengan ekor mataku aku melihat Maki beranjak berjalan menuju sofa dan duduk di sana, sambil pandangan matanya tidak pernah lepas dari kami berdua.
Mungkin karena merasa sudah menguasai diriku, ciuman Dino terus merambat turun ke leherku, menghisapnya hingga aku menggelinjang. Lalu merosot lagi menelusup di balik ketiak dan merayap ke depan sampai akhirnya hinggap di salah satu pucuk bukit di dadaku, Dengan satu remasan yang gemas hingga membuat puting susuku melejit Dino untuk mengulumnya. Pertama lidahnya tepat menyapu pentilnya, lalu bergerak memutari seluruh daerah puting susuku sebelum mulutnya mengenyot habis puting susuku itu. Ia menghisapnya dengan gemas sampai pipinya kempot.
Tubuhku secara tiba-tiba bagaikan disengat listrik, terasa geli yang luar biasa bercampur sedikit nyeri di bagian itu. Aku menggelinjang, melenguh apalagi ketika puting susuku digigit-gigit perlahan oleh Dino. Buah anggur yang ranum itu dipermainkan pula dengan lidah Dino yang kasap. Dipilin-pilinnya kesana kemari. Dikecupinya, dan disedotnya kuat-kuat sampai putingnya menempel pada telaknya. Aku merintih. Tanganku refleks meremas dan menarik kepalanya sehingga semakin membenam di kedua gunung kembarku yang putih dan padat. Aku sungguh tak tahu mengapa harus begitu pasrah kepada lelaki itu. Mengapa aku justeru tenggelam dalam permaianan itu? Semula aku hanya merasa terpaksa demi menutupi rahasia atas perbuatanku. Tapi kemudian nyatanya, permainan yang Dino mainkan begitu dalam. Dan aneh sekali, Tanpa sadar aku mulai mengikuti permainan yang dipimpin dengan cemerlang oleh Dino.
“Winda…”, “Ya?”, “Kau suka aku perlakukan seperti ini?”. Aku hanya mengangguk. Dan memejamkan matanya. membiarkan payudaraku terus diremas-remas dan puting susunya dipilin perlahan. Aku menggeliat, merasakan nikmat yang luar biasa. Puting susu yang mungil itu hanya sebentar saja sudah berubah membengkak, keras dan mencuat semakin runcing.
“Hsss…, ah!”, Aku mendesah saat merasakan jari-jari tangan lelaki itu mulai menyusup ke balik celana dalamku dan merayap mencari liang yang ada di selangkanganku. Dan ketika menemukannya Jari-jari tangan itu mula-mula mengusap-usap permukaannya, terus mengusap-usap dan ketika sudah terasa basah jarinya mulai merayap masuk untuk kemudian menyentuh dinding-dinding dalam liang itu.
Dalam posisi masih berdiri berhadapan, sambil terus mencumbui payudaraku, Dino meneruskan aksinya di dalam liang gelap yang sudah basah itu. Makin lama makin dalam. Aku sendiri semakin menggelinjang tak karuan, kedua buah jari yang ada di dalam liang vaginaku itu bergerak-gerak dengan liar. Bahkan kadang-kadang mencoba merenggangkan liang vaginaku hingga menganga. Dan yang membuat aku tambah gila, ia menggerak-gerakkan jarinya keluar masuk ke dalam liang vaginaku seolah-olah sedang menyetubuhiku. Aku tak kuasa untuk menahan diri.
“Nggghh…!”, mulutku mulai meracau. Aku sungguh kewalahan dibuatnya hingga lututku terasa lemas hingga akhirnya akupun tak kuasa menahan tubuhku hingga merosot bersimpuh di lantai. Aku mencoba untuk mengatur nafasku yang terengah-engah. Aku sungguh tidak memperhatikan lagi yang kutahu kini tiba-tiba saja Dino telah berdiri telanjang bulat di hadapanku. Tubuhnya yang tinggi besar, hitam dan penuh bulu itu dengan angkuhnya berdiri mengangkang persis di depanku sehingga wajahku persis menghadap ke bagian selangkangannya. Disitu, aku melihat batang kejantanannya telah berdiri dengan tegaknya. Besar panjang kehitaman dengan bulu hitam yang lebat di daerah pangkalnya.
Dengan sekali rengkuh, ia meraih kepalaku untuk ditarik mendekati daerah di bawah perutnya itu. Aku tahu apa yang dimauinya, bahkan sangat tahu ini adalah perbuatan yang sangat disukai para lelaki. Di mana ketika aku melakukan oral seks terhadap kelaminnya.
Maka, dengan kepalang basah, kulakukan apa yang harus kulakukan. Benda itu telah masuk ke dalam mulutku dan menjadi permainan lidahku yang berputar mengitari ujung kepalanya yang bagaikan sebuah topi baja itu. Lalu berhenti ketika menemukan lubang yang berada persis di ujungnya. Lalu dengan segala kemampuanku aku mulai mengelomoh batang itu sambil kadang-kadang menghisapnya kuat-kuat sehingga pemiliknya bergetar hebat menahan rasa yang tak tertahankan.
Pada saat itu aku sempat melirik ke arah sofa di mana Maki berada, dan ternyata laki-laki ini sudah mulai terbawa nafsu menyaksikan perbuatan kami berdua. Buktinya, ia telah mengeluarkan batang kejantanannya dan mengocoknya naik turun sambil berkali-kali menelan ludah. Konsentrasiku buyar ketika Dino menarik kepalaku hingga menjauh dari selangkangannya. Ia lalu menarik tubuhku hingga telentang di atas kasur yang terhampar di situ. Lalu dengan cepat ia melucuti celana dalamku dan dibuangnya jauh-jauh seakan-akan ia takut aku akan memakainya kembali.
Untuk beberapa detik mata Dino nanar memandang bagian bawah tubuhku yang sudah tak tertutup apa-apa lagi. Si Makipun sampai berdiri mendekat ke arah kami berdua seakan ia tidak puas memandang kami dari kejauhan.
Namun beberapa detik kemudian, Dino mulai merenggangkan kedua belah pahaku lebar-lebar. Paha kiriku diangkatnya dan disangkutkan ke pundaknya. Lalu dengan tangannya yang sebelah lagi memegangi batang kejantanannya dan diusap-usapkan ke permukaan bibir vaginaku yang sudah sangat basah. Ada rasa geli menyerang di situ hingga aku menggelinjang dan memejamkan mata.
Sedetik kemudian, aku merasakan ada benda lonjong yang mulai menyeruak ke dalam liang vaginaku. Aku menahan nafas ketika terasa ada benda asing mulai menyeruak di situ. Seperti biasanya, aku tak kuasa untuk menahan jeritanku pada saat pertama kali ada kejantanan laki-laki menyeruak masuk ke dalam liang vaginaku.
Dengan perlahan namun pasti, kejantanan Dino meluncur masuk semakin dalam. Dan ketika sudah masuk setengahnya ia bahkan memasukkan sisanya dengan satu sentakan kasar hingga aku benar-benar berteriak karena terasa nyeri. Dan setelah itu, tanpa memberiku kesempatan untuk membiasakan diri dulu, Dino sudah bergoyang mencari kepuasannya sendiri.
Dino menggerak-gerakkan pinggulnya dengan kencang dan kasar menghunjam-hunjam ke dalam tubuhku hingga aku memekik keras setiap kali kejantanan Dino menyentak ke dalam. Pedih dan ngilu. Namun bercampur nikmat yang tak terkira. Ada sensasi aneh yang baru pertama kali kurasakan di mana di sela-sela rasa ngilu itu aku juga merasakan rasa nikmat yang tak terkira. Namun aku juga tidak bisa menguasai diriku lagi hingga aku sampai menangis menggebu-gebu, sakit keluhku setiap kali Dino menghunjam, tapi aku semakin mempererat pelukanku, Pedih, tapi aku juga tak bersedia Dino menyudahi perlakuannya terhadap diriku.
Aku semakin merintih. Air mataku meleleh keluar. kami terus bergulat dalam posisi demikian. Sampai tiba-tiba ada rasa nikmat yang luar biasa di sekujur tubuhku. Aku telah orgasme. Ya, orgasme bersama dengan orang yang aku benci. Tubuhku mengejang selama beberapa puluh detik. Sebelum melemas. Namun Dino rupanya belum selesai. Ia kini membalikkan tubuhku hingga kini aku bertumpu pada kedua telapak tangan dan kedua lututku. Ia ingin meneruskannya dengan doggy style. Aku hanya pasrah saja.
Kini ia menyetubuhiku dari belakang. Tangannya kini dengan leluasa berpindah-pindah dari pinggang, meremas pantat dan meremas payudaraku yang menggelantung berat ke bawah. Kini Dino bahkan lebih memperhebat serangannya. Ia bisa dengan leluasa menggoyangkan tubuhnya dengan cepat dan semakin kasar.
Pada saat itu tanpa terasa, Maki telah duduk mengangkang di depanku. Laki-laki ini juga telah telanjang bulat. Ia menyodorkan batang penisnya ke dalam mulutku, tangannya meraih kepalaku dan dengan setengah memaksa ia menjejalkan batang kejantanannya itu ke dalam mulutku.
Kini aku melayani dua orang sekaligus. Dino yang sedang menyetubuhiku dari belakang. Dan Maki yang sedang memaksaku melakukan oral seks terhadap dirinya. Dino kadang-kadang malah menyorongkan kepalanya ke depan untuk menikmati payudaraku. Aku mengerang pelan setiap kali ia menghisap puting susuku. Dengan dua orang yang mengeroyokku aku sungguh kewalahan hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Malahan aku merasa sangat terangsang dengan posisi seperti ini.
Mereka menyetubuhiku dari dua arah, yang satu akan menyebabkan penis pada tubuh mereka yang berada di arah lainnya semakin menghunjam. Kadang-kadang aku hampir tersedak. Maki yang tampaknya mengerti kesulitanku mengalah dan hanya diam saja. Dino yang mengatur segala gerakan.
Perlahan-lahan kenikmatan yang tidak terlukiskan menjalar di sekujur tubuhku. Perasaan tidak berdaya saat bermain seks ternyata mengakibatkan diriku melambung di luar batas yang pernah kuperkirakan sebelumnya. Dan kembali tubuhku mengejang, deras dan tanpa henti. Aku mengalami orgasme yang datang dengan beruntun seperti tak berkesudahan.
Tidak lama kemudian Dino mengalami orgasme. Batang penisnya menyemprotkan air mani dengan deras ke dalam liang vaginaku. Benda itu menyentak-nyentak dengan hebat, seolah-olah ingin menjebol dinding vaginaku. Aku bisa merasakan air mani yang disemprotkannya banyak sekali, hingga sebagian meluap keluar meleleh di salah satu pahaku. Sesudah itu mereka berganti tempat. Maki mengambil alih perlakuan Dino. Masih dalam posisi doggy style. Batang kejantanannya dengan mulus meluncur masuk dalam sekali sampai menyentuh bibir rahimku. Ia bisa mudah melakukannya karena memang liang vaginaku sudah sangat licin dilumasi cairan yang keluar dari dalamnya dan sudah bercampur dengan air mani Dino yang sangat banyak. Permainan dilanjutkan. Aku kini tinggal melayani Maki seorang, karena Dino dengan nafas yang tersengal-sengal telah duduk telentang di atas sofa yang tadi diduduki Maki untuk mengumpulkan tenaga. Aku mengeluh pendek setiap kali Maki mendorong masuk miliknya. Maki terus memacu gerakkannya. Semakin lama semakin keras dan kasar hingga membuat aku merintih dan mengaduh tak berkesudahan.
Pada saat itu masuk Bram dan Tito bersamaan ke dalam ruangan. Tanpa basa-basi, mereka pun langsung melucuti pakaiannya hingga telanjang bulat. Lalu mereka duduk di lantai dan menonton adegan mesum yang sedang terjadi antara aku dan Maki. Bram nampak kelihatan tidak sabaran Tetapi aku sudah tidak peduli lagi. Maki terus memacu menggebu-gebu. Laki-laki itu sibuk memacu sambil meremasi payudaraku yang menggelantung berat ke bawah.
Sesaat kemudian tubuhku dibalikkan kembali telentang di atas kasur dan pada saat itu Bram dengan tangkas menyodorkan batang kejantanannya ke dalam mulutku. Aku sudah setengah sadar ketika Tito menggantikan Maki menggeluti tubuhku. Keadaanku sudah sedemikian acak-acakan. Rambut yang kusut masai. Tubuhku sudah bersimpah peluh. Tidak hanya keringat yang keluar dari tubuhku sendiri, tapi juga cucuran keringat dari para laki-laki yang bergantian menggauliku. Aku kini hanya telentang pasrah ditindihi tubuh gemuk Tito yang bergoyang-goyang di atasnya.
Laki-laki gemuk itu mengangkangkan kedua belah pahaku lebar-lebar sambil terus menghunjam-hunjamkan miliknya ke dalam milikku. Sementara Bram tak pernah memberiku kesempatan yang cukup untuk bernafas. Ia terus saja menjejal-jejalkan miliknya ke dalam mulutku. Aku sendiri sudah tidak bisa mengotrol diriku lagi. Guncangan demi guncangan yang diakibatkan oleh gerakan Titolah yang membuat Bram makin terangsang. Bukan lagi kuluman dan jilatan yang harusnya aku lakukan dengan lidah dan mulutku.
Dan ketika Tito melenguh panjang, ia mencapai orgasmenya dengan meremas kedua belah payudaraku kuat-kuat hingga aku berteriak mengaduh kesakitan. Lalu beberapa saat kemudian ia dengan nafasnya yang tersengal-sengal memisahkan diri dari diriku. Dan pada saat hampir bersamaan Bram juga mengerang keras. Batang kejantanannya yang masih berada di dalam mulutku bergerak liar dan menyemprotkan air maninya yang kental dan hangat. Aku meronta, ingin mengeluarkan banda itu dari dalam mulutku, namun tangan Bram yang kokoh tetap menahan kepalaku dan aku tak kuasa meronta lagi karena memang tenagaku sudah hampir habis. Cairan kental yang hangat itu akhirnya tertelan olehku. Banyak sekali. Bahkan sampai meluap keluar membasahi daerah sekitar bibirku sampai meleleh ke leher. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain dengan cepat mencoba menelan semua yang ada supaya tidak terlalu terasa di dalam mulutku. Aku memejamkan mata erat-erat, tubuhku mengejang melampiaskan rasa yang tidak karuan, geli, jijik, namun ada sensasi aneh yang luar biasa juga di dalam diriku. Sungguh sangat erotis merasakan siksa birahi semacam ini hingga akupun akhirnya orgasme panjang untuk ke sekian kalinya.
Dengan ekor mataku aku kembali melihat seseorang masuk ke ruangan yang ternyata si bule dan orang itu juga mulai membuka celananya. Aku menggigit bibir, dan mulai menangis terisak-isak. Aku hanya bisa memejamkan mata ketika Marchell mulai menindihi tubuhku. Pasrah.
Tidak lama kemudian setelah orang terakhir melaksanakan hasratnya pada diriku mereka keluar. aku merasa seluruh tubuhku luluh lantak. Setelah berhasil mengumpulkan cukup tenaga kembali, dengan terhuyung-huyung, aku bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaianku seadanya dan pergi mencari kamar mandi.
Aku berpapasan dengan Dino yang muncul dari dalam sebuah ruangan yang pintunya terbuka. Lelaki itu sedang sibuk mengancingkan retsluiting celananya. Masih sempat terlihat dari luar di dalam kamar itu, di atas tempat tidur tubuh Shelly yang telanjang sedang ditindihi oleh tubuh Maki yang bergerak-gerak cepat. Memacu naik turun. Gadis itu menggelinjang-gelinjang setiap kali Maki bergerak naik turun. Rupanya anak itu bernasib sama seperti diriku.
“Di mana aku bisa menemukan kamar mandi?” tanyaku pada Dino.
Tanpa menjawab, ia hanya menunjukkan tangannya ke sebuah pintu. Tanpa basa-basi lagi aku segera beranjak menuju pintu itu.
Di sana aku mandi berendam air panas sambil mengangis. Aku tidak tahu saya sudah terjerumus ke dalam apa kini. Yang membuat aku benci kepada diriku sendiri, walaupun aku merasa sedih, kesal, marah bercampur menjadi satu, namun demikian setiap kali teringat kejadian barusan, langsung saja selangkanganku basah lagi.
Aku berendam di sana sangat lama, mungkin lebih dari satu jam lamanya. Setelah terasa kepenatan tubuhku agak berkurang aku menyudahi mandiku. Dengan berjalan tertatih-tatih aku melangkah keluar kamar mandi dan berjalan mencari pintu keluar. Sudah hampir jam sebelas malam ketika aku keluar dari rumah itu.
Sampai di dalam rumah, Aku langsung ngeloyor masuk ke kamar. Aku tak peduli dengan kakakku yang terheran-heran melihat tingkah lakuku yang tidak biasa, aku tak menyapanya karena memang sudah tidak ada keinginan untuk berbicara lagi malam ini. Aku tumpahkan segala perasaan campur aduk itu, kekesalan, dan sakit hati dengan menangis.



Wednesday, February 27, 2019

Cerita Hot Terbaru Diajak Ngentot Adik Kelas Di Toilet


Cerita Hot Terbaru Diajak Ngentot Adik Kelas Di Toilet

Ini kebiasaan teman-temanku setiap jam istirahat ketiga pada hari Kamis. Kami, siswa-siswi SMA, pulang sekolah pukul 13.30 setiap harinya; sementara siswa-siswi SMP sudah mengakhiri pelajaran pada pukul 11.45, bertepatan dengan jam istirahat ketiga kami.

Setiap saat itulah, teman-temanku berdiri bersandar di balkon dan menonton siswa-siswi SMP sekolah kami yang sedang berjalan pulang sekolah. Seringkali mereka mengomentari siswi-siswi mana yang imut atau cantik, dan terutama yang menurut mereka memiliki tubuh yang seksi. Beberapa temanku bahkan sering bersiul pada mereka, atau menggoda mereka, hanya untuk menarik perhatian salah satu dari cewek-cewek SMP yang cantik-cantik itu. Hari ini pun begitu, sementara aku duduk di bangku panjang sambil mendengarkan iPod ku.

“Dit! Dit! Vany tuh!”

Nah, di antara semua cewek SMP yang lain, ada satu cewek yang paling menarik perhatian hampir semua temanku (dan sepertinya hampir semua cowok di SMA dan SMP, dan mungkin bahkan beberapa bapak guru). Cewek itu adalah Stevany, adik perempuanku. Stevany 4 tahun lebih muda dariku, dia duduk di kelas 2 SMP.

Sebenarnya Vany sama seperti cewek-cewek yang lain; dengan tinggi badan 153 cm dan berat 46 kg, Vany tergolong kecil mungil, tidak tinggi semampai. Rambutnya yang hitam pun hanya dipotong pendek sebatas leher. Memang wajahnya sangat imut dan kulitnya pun putih mulus tanpa cacat, tapi bukan itu yang membuat teman-temanku tergila-gila padanya.

“Duh gilak tuh anak cute banget sih!!”
“Sexy banget, maksud lu..!?”

Yap… Kontras dengan wajahnya yang sangat imut seperti anak kecil, Vany bisa dibilang sangat sexy. Alasan utamanya—dan aku yakin bagian inilah yang selalu dilihat oleh hampir semua cowok—Vany memiliki dada berukuran 34 C, yang termasuk sangat besar untuk anak seusianya. Bentuknya pun sangat bulat dan penuh.

“Duh gue ngaceng… Gede banget gilak…”
“Hus! Ada kakaknya tuh.. Ntar lu dibunuh… Hahaha”

Tiba-tiba teman-temanku ber “Oooh…!!” seru. Aku melongok ke arah lantai dasar, mencari tahu penyebab “Ooh..!!” tiba-tiba itu. Pantas, pikirku. Vany sedang berlari berkejar-kejaran dengan beberapa cewek lain. Aku tahu apa yang diperhatikan oleh teman-temanku: dada Vany yang berguncang-guncang menggiurkan saat ia berlari. Aku melirik ke arah teman-temanku, dan aku dapat melihat tonjolan-tonjolan tegang di bagian tengah celana panjang mereka.

“Heh! Udah! Adek gue bukan tontonan!” ujarku. Teman-temanku menoleh.
“Yee… Salahnya adek lu punya badan kayak gitu..” kata Martin, salah satu temanku.
“Toket kayak gitu, lebih tepatnya,” kata yang lain.

Bandar Bola Poker Live Casino Online Terbaik Terpercaya BIRASIA

“Ah, udalah! Nyebelin…” kataku gusar. Aku berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan teman-temanku yang menatapku gelisah.

Sebenarnya hal ini sudah membuatku gelisah beberapa waktu belakangan ini. Sejak adikku kelas 6 SD, entah kenapa seolah-olah dadanya seperti dipompa; pertumbuhannya pesat sekali! Hampir setiap pergantian semester, adikku ini mengeluh bra-nya sudah kesempitan, dan ternyata ukurannya sudah bertambah besar lagi. Di saat teman-teman seusianya masih belum mengenakan bra, Vany sudah mulai memilih bra mana yang harus dikenakannya, dan saat teman-temannya mulai merasakan pertumbuhan di dada mereka, milik Vany bahkan sudah jauh lebih besar dari milik ibuku.

Dan, yang paling membuatku khawatir, adalah kenyataan bahwa bagaimana pun, aku juga seorang cowok normal, yang juga bisa terangsang bila melihat sepasang dada yang bulat dan sangat besar seperti miliknya. Bahkan sudah beberapa lama ini aku menahan godaan untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang kakak pada adiknya.

“Yang ini aja…”
“Nggak ah, Kak… Bagusan yang ini tau…”
“Hmm… Masa sih?”

Sore itu aku dan Vany sedang berada di dalam sebuah toko yang menjual berbagai kartu ucapan di sebuah mall di dekat rumah kami. Kami sedang memilih kartu ucapan untuk salah seorang teman Vany yang akan berulang tahun sebentar lagi. Sudah sekitar setengah jam kami berputar-putar di antara rak-rak yang memamerkan berbagai macam kartu ucapan yang unik dan lucu, tapi kami masih belum menemukan pilihan yang tepat. Vany menarik sebuah kartu bergambar ****** kartun lucu yang sedang mendengarkan iPod dari raknya.

“Kalo yang ini?” tanyanya kepadaku.
“Hmm… Boleh juga, sih…” jawabku. “Bisa diputer-puter, ya?”
“Ya… Lucuu…”

Aku tersenyum, menunduk, mencium ubun-ubun kepalanya. Vany mendongak, menatapku sambil tersenyum. Ia menyenderkan kepalanya ke pundakku.

“Luv u, Kak…”
“Luv u too, Van…”

Sambil tetap meletakkan kepalanya di pundakku, ia kembali melihat-lihat kartu bergambar ****** yang ia ambil tadi. Seolah ia telah menentukan pilihannya.

“Yang ini aja ya, Kak?”
“Ya… Itu bagus,” jawabku.

Vany nyengir manis sekali, kemudian menggandeng tanganku ke arah kasir. Setelah membayar, kami keluar dari toko kartu itu, masih bergandengan tangan. Kami benar-benar menikmati jalan-jalan kami petang hari itu; kami berjalan perlahan-lahan, sesekali aku memainkan rambutnya yang pendek-kaku, kemudian menciumnya lembut. Vany membalas dengan tusukan nakal jari telunjuknya di pinggangku, bermaksud menggelitikku. Kami saling berbagi candaan dan menggoda satu sama lain, berfoto berdua, pokoknya benar-benar menyenangkan.




Yap. Seperti itu lah aku dan Vany, adik perempuanku satu-satunya, sekarang. Mesra sekali. Sejak kejadian malam itu (saat Belanda akhirnya melibas pasukan tua Italia 3-0—silakan baca episode 1) kami menjadi sangat dekat. Kami memang sudah memiliki hubungan yang baik sebelumnya—kami hampir tidak pernah bertengkar—dan kejadian itu sungguh-sungguh merekatkan kami, layaknya sepasang kekasih.

Sejak kejadian malam itu, kami saling berjanji untuk tidak mengulangi kegilaan seperti itu lagi… Dan kami berhasil! Kami menonton pertandingan-pertandingan Euro selanjutnya dengan seru, dan saling menghormati satu sama lain, menyadari status kami sebagai kakak-adik.
Tapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa sejak malam itu, Vany selalu ada dalam pikiranku. Dan setiap malam, sebelum tidur, bayangannya lah yang muncul di benakku. Aku tahu aku harus menolak pikiran-pikiran itu, tapi hasilnya malah pikiran itu muncul semakin menggila setiap kali aku onani. Setiap kali aku melakukannya, selalu muncul gambar-gambar kejadian malam itu; bagaimana aku meremas dadanya yang empuk dan besar, bagaimana putingnya mengeras, bagaimana pahanya yang mulus menjepit dan menggesek penisku, erangan dan desahan nikmatnya, dan tubuhnya yang tergeletak lemas berlumuran spermaku tak pernah bisa kuhapus dari pikiranku. Bayangan itu sungguh efektif dalam merangsangku, begitu efektifnya hingga tak cukup hanya satu kali keluar saat onani untuk memuaskan nafsuku.

Aku tak tahu apa yang Vany alami setelah malam itu; apakah dia juga mengalami apa yang aku alami atau tidak, aku tak tahu. Yang aku tahu, ia semakin sayang pada kakaknya, dan—jujur saja—ia terlihat semakin sexy sejak malam itu. Seolah dadanya yang besar bertambah besar dan menonjol menggiurkan, tetapi wajahnya yang imut bertambah imut dan polos. Ooh… Paradoks seperti itu sungguh menggairahkan!

* * *

Selasa, 17 Juni 2008 – 22.10

“Kaak… Ntar bangunin aku ya kalo udah mulai…”
“Kamu pasang weker juga lah, Van…”
“Udaah… Tapi takutnya ga bangun… Ya?”

Vany sedang menjulurkan badannya dari balik pintu tembusan antara kamarku dan kamarnya (kamar kami dihubungkan dengan kamar mandi), dan memintaku membangunkannya saat pertandingan Italia vs Prancis berlangsung nanti. Pertandingan ini merupakan pertandingan penentuan, dengan Belanda yang telah lolos dari grup maut C, posisi kedua diperebutkan Romania, Italia, dan Prancis. Pemenang laga Italia melawan Prancis akan lolos apabila Belanda berhasil mengalahkan Romania pada laga terakhir. Jika Romania menang, maka Romania-lah yang lolos mendampingi Belanda, tak peduli hasil pertandingan Italia melawan Prancis.

“Oke…” Aku mengangguk, setuju. Aku masih tetap menghadapi komputerku.
Vany berjalan ke arahku, memelukku dari belakang, mengecup pipiku.
“Thanks, Kak…” bisiknya lembut.
Aku tersenyum, menoleh menatapnya, dan mencium hidungnya yang mungil. Vany mengernyit, tapi nyengir setelahnya. Ia mencium pipiku lagi kemudian berbalik ke arah kamarnya.

Aku mendengar debam pintu ditutup di belakangku. Cepat-cepat aku mengganti screen komputerku. Aku sedang mengetik cerita tentang kejadian beberapa malam yang lalu itu. Aku sudah berjanji pada teman-temanku di Bluefame untuk membagikan cerita ini pada mereka.
Setengah jam berlalu, aku masuk bagian ketiga, bagian yang paling seru. Sambil mengetik, aku membayangkan apa yang kulakukan malam itu dengannya. Kupejamkan mataku… Sama seperti sebelumnya, bayangan-bayangan itu muncul dalam benakku. Jelas sekali… Aku membayangkan tanganku sedang meremas dadanya yang empuk dan sangat besar, memainkan putingnya yang semakin lama semakin mengeras dan menegang menggiurkan. Aku menyenderkan badanku ke kursi, merogohkan tangan ke dalam celanaku. Penisku sudah mengeras. Pelan-pelan, aku mengocoknya.

Oohh Vany toket kamu gede bangeeet siih…

Penisku semakin tegang dan membesar, kocokanku semakin keras.

Empuuk… Putingnya keras bangett… Hornya,ya Van?

Tanganku bergerak semakin cepat. Bayangan-bayangan semakin jelas.

Oh my God paha kamu ngegesek penis kakak…

Nafasku semakin cepat.

“Aah…”

Astaga, aku bahkan dapat mendengar suara desahannya dalam benakku.

“Mmmh… Mmm…”

Oh suaranya jelas sekali…

“Mmhh… Ssshhh… Aah…”

Astagaa… Aku akan segera keluaar!!!

Tapi saat itu aku sadar… Bayangan tidak bersuara! Aku membuka mataku, diam terpaku, mendengarkan…

“Mmmhh…”

Samar-samar, dari kamar sebelah, aku bisa mendengar suara desahan tertahan. Vany kah? Apa yang sedang dilakukannya?

Mengendap-endap, aku berjingkat ke arah pintu kamar mandiku, yang menghubungkan kamarku dengan kamarnya. Perlahan, sangat perlahan, aku membuka pintu kamar mandiku, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun.

“Aahh… Mmmhhh…”

Desahannya semakin terdengar. Aku menjulurkan kepalaku ke dalam… benar saja; pintu kamar mandi yang menuju ke kamarnya terbuka sedikit. Mungkin Vany lupa menguncinya malam ini. Aku berjingkat perlahan ke arah pintu yang terbuka sedikit itu, dan dari celah pintu itu aku mengintip ke dalam kamar adikku.

Lampu kamarnya telah dimatikan, hanya tersisa lampu meja yang menyala oranye redup. Vany meringkuk di atas ranjangnya, tubuhnya yang mungil miring ke kanan, menggeliat-geliat pelan. Tangan kanannya merogoh bagian depan celana pendeknya, menjangkau vagina dengan tangannya, sementara tangan kirinya meremas salah satu dadanya yang besar menggiurkan itu. Vany sedang masturbasi!

“Aahhh… Aaahhh….” desahnya nikmat.

Aku terpana. Tidak pernah sebelumnya aku berpikir bahwa adikku yang polos dan imut-imut ini juga memiliki pikiran yang erotis hingga bisa masturbasi. Terdiam sejenak, aku sadar bahwa akulah yang memasukkan pikiran-pikiran seperti itu dalam benaknya. Jika kejadian malam itu tak bisa hilang diingatanku—yang telah sering ML apalagi hanya petting seperti itu—tentunya lebih tidak bisa hilang lagi dalam pikiran Vany yang masih polos dan baru pertama kali melakukannya. Tersenyum, aku membalikkan badanku, bermaksud meninggalkan Vany dalam fantasinya. Tapi, baru setengah langkahku terangkat, aku mendengar sesuatu yang membuatku tertegun.

“Mmmhh… Kak… Kaak…”

Jantungku serasa berhenti. Astaga! Rupanya aku yang dibayangkannya! Penasaran, aku berbalik, hendak mengintip ke arah kamarnya lagi, melihat apa yang terjadi. Namun, karena gelap, aku menyenggol tempat sampah kamar mandi yang terbuat dari besi, sehingga jatuh berkelontangan.

Tanpa melihat pun, aku tahu Vany tertegun di ranjangnya. Hening mencekikku. Aku dilanda kebingungan, berbalik ke kamarku sepelan mungkin, atau membereskan dulu tong sampah itu baru berbalik. Sebelum aku mengambil keputusan, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, lampu menyala. Vany berdiri di ambang pintu. Tubuhnya berkeringat, wajahnya yang imut diliputi kecemasan dan terkejut.

“Eh… Kak? Nga… Ngapain?” Vany bertanya gugup.
“Hah? Oh? Nggak koq nggak ngapa-ngapain… Eh… Belum tidur?” aku tak kalah gugupnya.

Terdiam. Kami membatu di tempat masing-masing, menyadari kejanggalan yang terjadi. Vany memberanikan diri bertanya.

“Kakak… Tadi liat aku?”
“Ah? Ah…” Aku gelagapan, tak tahu harus menjawab apa. “Eh, ya… Lebih ke arah denger sih…”

Terdiam lagi.

“Tadi pintunya agak kebuka sedikit…” lanjutku sambil mengangguk ke arah pintu yang menuju kamarnya.
“Oh, ya…”

Terdiam lagi. Suasana ini tidak menyenangkan. Wajah Vany merah padam.

“Mm… Kakak… Denger semua?” suara Vany sangat pelan hampir berbisik. Aku terdiam, tak mampu menjawab.
“Yah… Ya… Kamu bayangin… Kakak?” tanyaku. Langsung ke sasaran.
“Hah? Eh…” wajahnya tambah merah padam. “Yah… I… Ya gitu deh…”
“Oh ya?” jawabku canggung. Tak tahu melanjutkan ke mana.
“…Yang malem itu…” bisik Vany.

Aku terdiam. Sudah kuduga ia akan memikirkan apa yang kami buat malam itu. Perasaan bersalah terasa menyakitkan menusuk hatiku. Kami terdiam, terpaku di tempat masing-masing, bingung harus melakukan apa selanjutnya.

“Eh… Yah… Yasudah… Kakak tidur dulu?” kataku gugup.
“Hah? Oh… Ya… Oke… Nanti bangunin aku ya…” kata Vany, senyum gugup mengembang di bibirnya yang mungil.

Vany membantuku membereskan sampah yang sedikit berserakan. Aku tersenyum, mengecup keningnya, kemudian berbalik, hendak kembali ke kamarku, berusaha melupakan apa yang kulihat barusan. Saat itulah Vany memelukku dari belakang.

“Kak…” bisiknya.
“Ya?” jawabku, berusaha setenang mungkin.
“Kakak… Juga mikirin yang malem itu?” Vany bertanya takut-takut.

Hening.

“Kak?”
“Ya… Iya…”

Hening lagi.

“Yang pas apa yang kakak bayangin?”
“Heh? Koq nanya kayak gitu?”

Aku mendengarnya tertawa kecil. Vany semakin mempererat pelukannya. Dadanya yang empuk menekan punggungku, enak sekali… Aku merasa celana pendekku mulai menyempit.

“Kamu bener-bener kepikiran, ya?” tanyaku. Aku merasakan anggukan kecil kepalanya.
“Pengen… Lagi…” katanya pelan.
“Heh! Katanya waktu itu jangan lagi… Dosa…” jawabku. Aku agak geli.
“Iya… Tapi…”

Aku tersenyum, membalikkan badanku. Vany menunduk, terlihat lesu.

“Hei…” sapaku lembut. Kuangkat dagunya perlahan. “Ga baek tau kita gitu… Kan kakak-adek… Waktu itu udah janji juga kan kita ga mau gitu lagi… Ya kan?”

Apa yang kukatakan ini sungguh bertentangan 180 derajat dengan apa yang kurasakan. Penisku yang menegang serasa berdenyut-denyut di balik celana pendekku. Ingin rasanya aku langsung melumat bibirnya yang mungil itu dan menghujamkan penisku ke dalam tubuhnya. Tapi, bagaimana pun, aku kakaknya. Aku tahu itu tidak boleh.

“Iya… Iya sih…” jawabnya, lembut. “Sorry…”
“Hm? Koq sory?”
“Abis… Kan udah janji waktu itu…”

Tidak boleh, dia adikku. Aku terus memberitahu diriku sendiri. Tapi saat itu aku mataku terantuk pada dadanya yang besar menantang. Penisku semakin mengeras. Aku menggelengkan kepala.

“Kakak nggak pengen lagi?” tanyanya, polos.

Nggak.

“Yah…”

Bilang nggak pengen.

“Eh…”

Stop.

“Ya… Yah… Jujur sih… Eh…”

Dia adik lu!

“… Ya pengen sih…” Bagaimana pun aku kalah lagi. Vany mendongak, menatapku. Saat itu wajahnya terlihat imut sekali.
“Karena toketku?” tanya Vany.
“… Iya… Sory…” jawabku lemah.
“Gapapa…” jawabnya. Mukanya merah padam.
“Abis… Gede banget…”
“Segede itu kah?” tanyanya perlahan, kedua tangan mungilnya memegang dadanya, meremasnya, seolah tak percaya bahwa dadanya memang sangat besar.

Aku tak tahan lagi. Kupeluk tubuh mungil Vany. Dadanya yang besar menekan dadaku. Aku mencium bibirnya yang mungil, lembut. Vany terkejut. Sesaat seolah ia akan meronta melepaskan diri dari pelukanku, namun detik berikutnya ia telah membalas ciumanku.

Ciuman kami bertambah panas. Lidahku perlahan masuk ke dalam mulutnya, memainkan lidahnya. Vany cepat belajar rupanya, segera membelit lidahku dengan lidahnya yang mungil. Decak lidah kami terdengar menggiurkan di dalam heningnya malam itu. Tanganku merogoh pantatnya, meremasnya. Baru kali ini aku menyadari pantat Vany juga montok dan tebal. Vany melepaskan ciuman, mengambil nafas. Benang ludah tipis menghubungkan mulut kami. Sexy sekali.

“Di kamar aja yuk?” ajaknya.
Aku mengangguk. Kugendong Vany kembali ke kamarnya, kurebahkan tubuh mungilnya di atas ranjangnya. Perlahan, aku merebahkan diri di atas tubuh Vany, kembali melumat mulutnya dengan penuh gairah. Tapi saat itu Vany terbatuk.

“Kenapa?” tanyaku.
“Uhuek… Kakak berat!” katanya terbatuk. Ia tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang renyah justru menambah gairahku. Kami berciuman lagi. Nafas kami semakin memburu. Aku menurunkan ciumanku ke rahangnya, kemudian lehernya, perlahan-lahan. Vany mencengkeram rambutku.

“Mmhhh… Jilatin leherku, Kak…”
Aku menurutinya. Aku memutar-mutar lidahku di lehernya, kucium perlahan, terus berulang-ulang. Vany mengejang.

“Enak?” tanyaku.
“Hmmhh… Iya… Lagi kak…” Vany mendesah.

Kali ini, sambil menjilat dan merangsang lehernya terus-menerus, tanganku perlahan meremas dadanya yang seempuk bantal. Rupanya malam ini Vany memakai BH, sehingga tanganku tidak langsung menyentuh putingnya. Tapi aku merasakan puting Vany telah mengeras seperti malam itu.

“Buka aja kaosnya…” pintanya. Aku mengangguk. Perlahan, aku mengangkat kaos piyama warna pink itu. Vany mengangkat kedua lengannya agar bisa kubuka sepenuhnya. Aku tertegun melihat BH warna putih berenda yang dikenakannya. Baru kali ini aku melihat tubuh adikku seperti ini. Dadanya yang besar dan bulat terlihat sangat kesulitan ditahan oleh BH itu. Aku mulai mencium dan menjilat dada Vany, sementara tanganku masih tak puas merasakan empuk dan kencangnya.

“Emang bener-bener gede, Van…” bisikku. Vany hanya tersenyum, menggeliat nikmat. Aku meremas dadanya lagi, ragu-ragu apakah sebaiknya kubuka Bhnya atau tidak. Seolah dapat membaca pikiranku, Vany bertanya.
“Mau liat?” tanyanya, menggoda.

Tak menunggu disuruh dua kali, kutarik BH itu ke atas. Dada Vany yang besar berguncang menggiurkan saat terbebas dari cengkeraman BHnya. Sungguh besar, bulat dan putih mulus sekali, dengan puting yang masih belum pernah tersentuh tangan pria berwarna coklat muda kemerahan. Benar dugaanku, putingnya telah ereksi setegang-tegangnya. Dada Vany benar-benar sempurna.

“Oh my God…” bisikku kagum. “The best…”
“Hehehe… Berisik… Ayo cepet…” katanya.

Aku membenamkan wajahku di antara kedua payudaranya. Empuk, lembut sekali. Sensasi kenyalnya dada Vany membuatku sungguh terangsang. Dada Vany sungguh penuh membungkus wajahku. Aku bergeser. Jemariku memainkan putingnya yang telah tegak berdiri.

“Aaahh… Kakk… MMhhh…” Vany mendesah nikmat. Kujilat dan kusedot puting kanannya, sementara tangan kananku meremas dada kirinya. Kemudian berganti, puting kirinya kusedot dan kujilat perlahan, sementara puting kanannya kumainkan dengan jemariku; kucubit dan kuputar.

“Aaahh… Aaahh… Ka…K… Pelan… Pelaan… Mmmhhh!!”

Aku menyadari Vany lebih terangsang saat puting kirinya kujilat. Rupanya Vany lebih sensitif di puting kiri.

“Kamu lebih suka di sini ya?” godaku sambil menggigit perlahan puting kirinya.
“AAAHH… Aah!! IYA! Ooh… Mmmhhh… Jangan digigiitt… Mm!!” Vany mendesah keenakan. Tubuhnya menggeliat-geliat. Tangannya mencengkeram seprei. Sambil melepas celana pendeknya, aku semakin liar memainkan dadanya yang besar menggiurkan. Kuputar-putar lidahku di kedua putingnya bergantian. Vany tak tahan.

“OOH… Kaakk… Ka… Kalo gitu terus… Aku… Aaahh… Mmhh… Kk…”
“Mau keluar?” tanyaku sambil terus meremas dan menjilat dadanya. Vany mengangguk panik. Aku nyengir nakal. Puting kirinya kujilat sangat perlahan, sementara tangan kananku merogoh selangkangannya. Sudah basah kuyup.

“AaaahhhHH….!!! Kaaakkkk!!!”

Sslllrrssshhhhhhh… Vany mengejang, mengangkat pinggulnya, menyemprotkan cairannya banyak-banyak, membasahi tanganku. Ia terkulai lemas.

“Kenapa kamu? Belon diapa-apain udah squirting gitu?” godaku.
“Hhh… Hh… Enak aja blon diapa… apain… Hh…” jawabnya, terengah-engah. Aku tertawa pelan.
“Masih kuat?”
Ia mengangguk, tersenyum.
“Kakak nakal…” bisiknya. Aku nyengir dan kembali membenamkan kepalaku kedalam bekapan dadanya. Benar-benar enak sekali.
“Mmm… Vnn… Nnii subber bngeddd…(Mmm… Van ini super banget)” kataku dalam bekapan dadanya. Vany tertawa geli. Kedua tangannya meremas dadanya, menekankannya ke arah wajahku, sehingga semakin membekap wajahku. Saat itu ide gila melintas di benakku.

“Van, kamu tau titf*ck?” tanyaku.
“Apa tuh?”
“Itu… Gini…” Aku berdiri, membuka celanaku. Penisku yang tegak berdiri mengacung ke arahnya. Vany melotot memandang penisku.
“Mau diapain, Kak?” tanya Vany.
“Kayak tadi…” Dengan lembut aku berlutut, mengangkang melewati perutnya. Kuletakkan penisku di antara dadanya yang lembut itu. Vany mengerti.
“Ooohh… Iya iya!” katanya, mengangguk-angguk. Vany memegang kedua dadanya yang besar, kemudian menjepit penisku di antaranya. Luar biasa!

“Aaahh!!! Vaan… Ini enak banget!!”
“Enak??” tanyanya.

Tangan Vany meremas-remas, memijat-mijat dadanya. Sensasi empuk dan kencang membungkus penisku. Dadanya sungguh besar hingga yang terlihat hanya kepala penisku yang berwarna merah. Rasanya berdenyut-denyut di antara jepitan lembut dadanya.

“Van, dikocok deh… Mmmhhh… Pelan-pelan,” pintaku.
“Oke…” Vany menggerakkan dadanya naik turun bersama-sama, perlahan. Aku tak dapat melukiskan kenikmatannya dengan kata-kata. Kemudian ia menggerakkan dadanya bergantian, kiri-kanan-kiri-kanan… Benar-benar luar biasa!

“Ooohh… Mmmmhhh… Vaann… Sambil dijilat… Kepalanya…”
Vany menunduk, menjilat kepala penisku. Aku rasa batasku sudah semakin dekat. Seolah mengerti pikiranku, Vany berkata.

“Keluarin aja, Kak… ******* yang banyak!” bisiknya.
“Okee… Mmmhh… Ben… Bentar laggii… Aaahhh….”
Vany semakin cepat menggerakkan dadanya naik-turun, ia juga mengencangkan jepitannya, tapi jilatannya tetap pelan dan lembut. Aku sudah tak tahan lagi!
“VAAN… Kakak…. MMMMmmmhHHH!!!!”

Crooottt… Crroooottt… Crrroooottt…. Penisku meledakkan sperma kuat-kuat berkali-kali ke wajah imut Vany. Vany memejamkan mata dan menutup mulut rapat-rapat. Aku terus menyemprot hingga hampir seluruh wajah dan dadanya yang besar berlumuran cairan putih kental itu.

Vany membuka mata, menjilat sperma sekitar mulutnya. Cairan putih menetes dari daun telinga, juga poni rambutnya. Wajah polosnya benar-benar belepotan sekarang. Aku mengangkat penisku dari dadanya, masih tegang, sama seperti waktu itu. Rupanya memang tidak cukup hanya sekali untuk memuaskan nafsuku.

“Oke… Sekarang giliran kamu lagi…” kataku.
Aku menunduk ke arah selangkangannya. Kubuka tungkai Vany hingga mengangkang sempurna. Celana dalamnya basah kuyup. Aku menjulurkan jari telunjukku untuk menyentuh vaginanya. Perlahan, kugerakkan naik-turun telunjukku di bibir vaginanya.

“Mmm… Mmhhh… Kaak…” desahnya pelan. Aku menusukkan telunjukku lembut lebih kedalam. Vany menjengit. “Lagi, Kak…”
“Tunggu…” Perlahan, kubuka celana dalamnya yang berwarna putih. Vagina Vany masih belum berbulu, hanya rambut-rambut sangat tipis yang tumbuh sedikit di sekitar bibir vaginanya. Bentuknya pun indah, tembem. Klitoris Vany sudah menonjol keluar. Cairan bening mengalir dari dalam vaginanya.

“Wow… Kenapa badanmu sempurna gini sih?” bisikku menggodanya.
“Apaan sih kakak…” kata Vany.

Tanpa berlama-lama, aku langsung mencium vaginanya. Vany mengejang, menggeliat setiap kali aku menyentuh klitorisnya dengan bibirku. Harum segar sekali baunya.

“Aahh… Kaakk… AaaaHH… Aa…” desah Vany. Aku menjulurkan lidah, kujilat bibir vaginanya yang tembem. Vany menggeliat semakin kuat, mencengkeram kepalaku. Aku meremas pantatnya perlahan-lahan sambil terus menjilati vaginanya.

“Kaakk… Kakakk… Oohh… Mmmhhh… Yess…” Vany mendesah. Nafasnya berat, tak beraturan. Kujulurkan lidahku lebih dalam, kali ini menjangkau bagian dalam vaginanya. Vany mendesah dan mendesis tak karuan, pinggulnya menegang. Aku melirik ke atas, tangan kanannya sedang meremas dadanya yang besar, memainkan puting kirinya yang sensitif. Kugigit lembut klitoris adikku.

“MMM!!! Kaaakkk!!! Keluaaarrrr!!! Aaaahhh… AAAAHH!!!”

Sebelum aku sadar, Vany telah menyemprotkan cairannya ke wajahku. Semprotannya kencang sekali. Untung saja aku sempat memejamkan mata dan menahan nafas. Belum sempat aku mengambil nafas, Vany telah menyemprotkan orgasmenya yang kedua. Lebih banyak kali ini.

“Oohh… Oohh… Mmhhh… Hhh… Hhhh…” Vany terengah-engah tak karuan. Dadanya bergerak naik-turun, mengatur nafas. Aku membenamkan wajahku di dalam selimut, berusaha mengeringkannya. Vany tertawa geli melihat kakaknya basah kuyup.
“Apa kamu ketawa-ketawa…” ujarku. Geli juga sih…
“Hahahaha… Emang aku nyemprotnya sampe segitunya? Hahaha…” katanya geli.
“Hehe… Abis kamu tiba-tiba gitu… Dua kali, lagi…” kataku, akhirnya ikut tertawa.
“Kan aku udah bilang tadi…” jawabnya. Vany terkulai lemah di ranjang, tapi matanya berbinar senang.
“Hehehe… Nakal kamu…” bisikku. Aku merebahkan diri di atas adikku, kemudian melumat bibirnya yang mungil itu dengan sayang. Penisku masih tegang sekali, agak menyentuh vaginanya. Vany berjengit, melepaskan ciuman.

“Kak… Masih tegang, ya?” tanyanya polos. Aku mengangguk.
“Kamu sexy banget sih… Jadi tegang terus…” aku berbisik menggodanya.
“Mau disedot?” tawar Vany sambil tersenyum.
“Heh? Emang kamu bisa?” tanyaku, agak terkejut.
“Bisa… Waktu itu kan pernah ngintip Kakak lagi disedot Kak Grace…” jawabnya, meyakinkanku. Grace itu pacarku. “… Eh… Apa namanya… Oral?”
“Ya… Oral,” kataku membenarkannya. “Nakal ya kamu ngintip-ngintip orang!”

Vany nyengir jahil. Ia mendorongku. Aku berguling ke sisinya, terlentang. Vany bangkit dan membungkuk di atas kakiku, kepalanya menghadap penisku yang tegak berdiri.

“Mulai… Eh… Mulai dari sini kan ya?” tanyanya ragu-ragu sambil menjulurkan tangannya yang mungil untuk menggenggam penisku. Aku mengangguk. Perlahan, Vany mengocok penisku. Aku tahu ia masih takut-takut.

“Mmhh… Enak gitu Van… NnhHh.. Teruss…. Betul… Mhh…” desahku.

Lama-kelamaan Vany semakin yakin dan terbiasa dengan penisku. Kocokkannya semakin mantap. Tak lama kemudian, ia mendekatkan bibirnya ke kepala penisku, menjulurkan lidahnya untuk menjilat. Perlahan-lahan, ia menjilati kepala penisku. Enak sekali.

“Aahh… Ji… Jilat batangnya juga, Sayang… Mmhh…”

Vany menurut. Ia menjilati batang penisku dengan bersemangat. Lama-kelamaan jilatannya semakin berani. Vany memutar-mutar lidahnya di sepanjang penisku.

“Slllrpp… Mmahh… Kaka… Enaa…k… Sllrpp?” tanyanya sambil terus menjilat. Aku mengangguk, memejamkan mata, berusaha menahan agar tidak orgasme terlalu cepat. Tiba-tiba, Vany berhenti menjilatiku. Ia menegakkan tubuhnya, seolah bersiap-siap.

“Abis itu… Gini… Ya…?” Ia membungkuk, memasukkan penisku ke dalam mulutnya yang mungil. Vany harus membuka mulutnya lebar-lebar agar penisku bisa masuk semua. Rasanya luar biasa!

“Mmhh… Ccpp… Bunya… Kak… Gdee… Mmm… Cppp… B… Nget… Puah… Sampe susah nyedotnya…” katanya. Aku tertawa. Ia kembali menyedot penisku, perlahan-lahan. Kepalanya bergerak naik-turun. Di dalam, lidahnya memainkan bagian bawah batang penisku. Ia melakukannya benar-benar seperti sudah profesional.

“Kamu… Mmmhh… Ngintipnya… Sampe kayak gimana… Mmmhhh… Waktu itu?” tanyaku. Tekniknya memang mirip dengan Grace.
“Dari… Mmmh… Slllrpp… Aw…al… Cppp… Mmmm… Sppp… Samp…e… Abiss… Cpp…” jawabnya terpatah-patah. Pantas saja…

Vany semakin cepat menggerakkan kepalanya naik-turun. Rongga mulutnya yang kecil menjepit penisku pas sekali, dan lidahnya yang menggeliat-geliat di bagian bawah penisku sungguh membuatku tak berdaya. Aku tak yakin apakah aku mampu bertahan lebih lama lagi.

“Van… Oohh… Kaka…K… Mmhhh… Aaahh… Mau keluar nih… Aahh.. Kayaknya…”

Vany tidak memedulikanku. Ia menggerakkan kepalanya semakin cepat, kemudian menyedot penisku kuat-kuat sebelum melumatnya hingga ke pangkal. Aku benar-benar tak tahan.

“Vaann… Nnn… MMmhhhh… Uu… Udah… Dikasi.. Tau… Lo… OOOHHH!!!!! AAAAHH!!” sebelum kalimatku selesai, Vany menyedot kuat sekali lagi, dan aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam mulutnya.

“Aahhh… Aaa… AAAHH!!! Mmmhh… OoooH!!!” desahku setiap kali penisku menembakkan cairan ke dalam mulut adikku. Vany terus mempertahankan penisku di dalam mulutnya. Cairan putih kental mengalir keluar dari balik bibirnya. Rongga mulutnya yang mungil tak mampu menahan sperma kakaknya yang menyemprot berkali-kali banyak-banyak.

Aku menghela nafas panjang saat akhirnya selesai. Vany merangkak, merebahkan diri di sisiku, mencium pipiku. Aku menoleh dan melumat bibirnya yang belepotan spermaku. Kami saling membelit lidah. Tak memikirkan betapa hubungan ini sebenarnya terlarang.

“Kak…” katanya lembut.
“Ya?”
“Thanks…”
“Hahaha sekarang kamu yang bilang thanks…”
“Iya donk… Kakak enak banget…”
“Kamu juga…”

Kami terdiam. Aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya. Vany memeluk lenganku. Dadanya yang montok menekan, tapi kali ini aku sudah terlalu lelah.

“Kak…”
”Hmm?”
“Enak mana… Sama Kak Grace?” tanya Vany.
“Oralnya?”
“He-eh…”
“Enak kamu…”
“Bohoooonnnggg…!!” ujarnya. Aku tertawa.
“Hahaha.. Iya deehh… Enakan Grace…” kataku. “Jangan dibandingin donk… Dia bibirnya sexy tebel gitu…”
“Hehehe…” Vany terkekeh.

Terdiam lagi. Apa yang bakal Grace bilang kalo dia tau pacarnya punya hubungan intim dengan adik kandung sendiri?

“Kak…”
“Hm?”
“Lain kali…”
“…Jangan lagi?” aku memotong ucapannya.
“Nggak…” katanya, tersipu. “… Lain kali lagi yuk…”

Aku tertawa. Adikku parah sekali rupanya.

“Besok jalan yuk…” ajak Vany.
“Besok Kakak ada janji sama Cherry,” kataku. Cherry ini sahabatku sejak SD.
“… Mau anal ya?” bisiknya jahil.
“Heehh??? Koq gituuu…??”
“Kan Kakak sering anal sama dia… Aku tau aja…”
“… APAA???”

“Dit! Jaga belakang!”
“DEFENSE! TAHAN ERIC!”

Eric berlari ke arahku, menggiring bola dengan lincah. Samuel mencoba menahannya, tapi ia terus berlari dengan lincah. Sekarang tinggal satu lawan satu denganku. Semua terserah padaku sekarang. Aku bergerak maju, membentangkan tanganku, menutup ruang geraknya. Eric menganyunkan kakinya, menendang. Aku menerkam…

BUAK!!!
Gelap…

“Dit… Dit lu gapapa?”
“Oi… Dit…”

Perlahan, aku membuka mataku… Wajah teman-temanku bergetar dan tampak kabur dalam pandanganku. Aku mengerjapkan mata, saat itulah aku merasakan linu yang amat sangat di selangkanganku. Sangat menyengat dan berdenyut-denyut rasanya. Eric juga menunduk di atasku. Wajahnya pucat pasi.

“Hei, man… Lu… Lu gapapa kan? Gue tadi ga sengaja… Abis…” katanya tergagap.
“Enak aja ga sengaja! Kan udah jelas dia bakal loncat ngambil bola! Kenapa lu tetep hajar sekenceng itu?!” Chris naik pitam, mendorong bahu Eric.
“Tapi… Gue emang ga sengaja!”
“Alaahhh…!!”
“Hei…”

Semua menoleh ke arahku.

“Chris, udalah… Gue gapapa koq. Tadi lengah juga… Ric, gapapa… Gue tau lu ga sengaja…” kataku menghibur. Mataku berair menahan sakit. Perutku mual. Teman-teman tim futsalku berusaha menolongku berdiri. Aku berdiri dan melangkah tertatih-tatih kea rah gawang. Sakit sekali rasanya. Eric benar-benar mengerahkan kemampuan penuhnya tadi.

Hari itu aku dan teman-teman tim futsalku sedang bertanding melawan tim dari kompleks lain. Lapangan futsal di dekat rumahku yang biasa kami sewa sedang mengadakan kejuaraan futsal. Hari itu pertandingan terakhir penyisihan grup. Sebenarnya kedua tim yang bertanding hari itu sudah pasti lolos; kami hanya memperebutkan posisi juara grup, karena bila kami mendapat posisi runner-up, lawannya adalah tim yang sangat jago dari grup lain. Terus terang, kami agak ngeri melawan tim itu.

Saat ini skor imbang 5-5… Pertandingan tinggal tersisa 2 menit lagi. Jika posisi tetap seperti ini, kamilah yang akan lolos sebagai juara grup. Tapi dalam 2 menit terakhir ini tim Eric terus memborbardir gawang yang kukawal.

“Hei… Lu gapapa? Masih bisa maen lagi? Tinggal 2 menit koq…”

Aku mengangguk, berusaha menegakkan badanku di bawah mistar gawang. Pandanganku agak kabur saat ini. Pertandingan dilanjutkan…

* * *
Aku berjalan perlahan-lahan ke arah rumahku. Selangkanganku masih sakit rasanya. Aku mengernyit, jengkel. Saat pertandingan tinggal tersisa 30 detik, sebuah umpan silang dari kanan kotak penalti timku diteruskan Eric dengan sebuah sundulan cantik. Aku benar-benar terkecoh. Akhirnya tim lawan menang 6-5, dan mereka menjadi juara grup.

Aku menggelengkan kepala. Susah sekali berkonsentrasi hari ini, apalagi setelah terkena tendangan bola futsal yang sangat keras tepat di penisku… Urgh!

Aku menggelengkan kepala lagi. Sebenarnya sudah sejak awal pertandingan aku sulit berkonsentrasi. Pikiranku terpaku pada adikku Vany… Terutama apa yang dilakukannya tadi pagi.

Tadi pagi, Vany harus berangkat ke sekolah karena ia menjadi ketua panitia MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah. Hari ini para siswa-siswi SMP baru sudah harus masuk ke sekolah untuk menjalani masa orientasi, dan Vany harus menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Sebelum pergi, pagi-pagi sekali, Vany membangunkanku dengan ciuman nakal perlahan di leherku. Saat aku terbangun, aku melihat adik kecilku yang imut itu tersenyum manis, dengan kancing kemeja seragam sekolah yang tidak dikancingkan dan bra merah muda berenda yang diangkat. Dadanya yang besar menggelayut menggiurkan di hadapanku. Sekejap kemudian Vany sudah menjepit penisku dengan kedua dadanya yang empuk, memijat dan meremasnya perlahan. Aku yang terkejut hanya bisa menikmati sensasi luar biasanya. Tak butuh waktu lama bagiku untuk meledakkan sperma kentalku berkali-kali melumuri wajahnya yang imut. Setelah membersihkan wajahnya, Vany tersenyum puas, mengecup bibirku, kemudian pergi ke sekolah.

Bayangan akan apa yang terjadi pagi itu terus terngiang di kepalaku, bahkan saat pertandingan futsal sedang panas-panasnya sore itu. Mungkin itu yang membuatku dapat kebobolan hingga tujuh gol. Gila…

Lagipula… Sakit sekali… Bagaimana jika aku tidak dapat tegang lagi untuk seterusnya? Apa kata Vany? Grace? Cherry?

Langkahku gontai melintasi halaman rumah. Aku membuka pintu depan rumah. Sepi, kedua orang tuaku sedang menghadiri acara keluarga besarku di Semarang selama seminggu. Aku membanting sepatu futsalku di tempat sepatu, mendaki tangga dengan lemas menuju kamarku, membanting tas dan sarung tangan kiperku, melepas semua pakaianku, kemudian melangkah ke kamar mandi. Aku ingin cepat-cepat mandi air panas. Tanpa memperhatikan apa-apa, aku membuka pintu kamar mandi. Aku tertegun.

Vany sedang mandi dengan santainya. Tampaknya ia tak sadar aku membuka pintu kamar mandi. Vany bermain-main dengan air dari shower, menggosok lengan, leher, pantat, dan tentu saja dadanya yang besar menggiurkan.

“V… Van?”

Vany melonjak kaget. Ia berbalik, melihat kakaknya yang juga telanjang bulat berdiri di hadapannya.

“Eh… Kak? Koq ga ngetok dulu?” tanyanya gugup.
“Hah? Oh… Oh iya… Sory tadi kakak pikir ga ada orang…”
“Oh… Hahaha ya namanya kan kamar mandi bareng… Ketok dulu lah…” jawabnya santai. “Gimana futsalnya?”
“Kalah…6-5… Jadi runner up…” jawabku lemas. “Udah gitu punya kakak ketendang bola kenceng banget lagi… Jarak dekat…”
“Hah??! Oh ya?” ujar Vany terkejut. Ia memperhatikan penisku. “Tapi… Koq… Kayaknya gapapa ya…” lanjutnya. Aku menangkap nada geli dalam suara manisnya.
“Ya iyalah gapapa…. Dasar…” memang saat itu penisku sudah kembali tegang setegang-tegangnya. Segala pikiran tentang apakah aku dapat tegang lagi sirna sudah saat aku meihat tubuh Vany yang basah kuyup sedang mandi.

“Eh… Mm… Jadi…” kata Vany.
“Hah? Oh…” aku tersenyum. “Mau mandi bareng?”

Vany nyengir.

“Dasar nakal…” bisiknya. Tapi ia membukakan juga pintu kaca pembatas ruang shower. Aku masuk, dan seketika itu juga hangatnya air membasahi tubuhku. Damai dan tenang sekali rasanya.

Vany merapatkan dirinya ke arahku. Dadanya yang besar menekan tubuhku, kenyal dan empuk sekali rasanya. Vany mengusap perlahan punggungku.

“Mau aku sabunin, Kak?” tawarnya. Aku mengangguk.

Ia mengambil botol sabun cair, menuangnya ke atas telapak tangannya, kemudian mengusapnya perlahan di punggungku. Aku menunduk, memandang adikku. Vany mendongak, tersenyum. Kami saling bertatapan beberapa lama. Perlahan, Vany mendekatkan bibirnya ke arah bibirku. Aku menyambutnya lembut. Sangat perlahan, kami berciuman. Lidah Vany menusuk ke dalam mulutku dan membelit lidahku. Suara decak ciuman kami semakin lama semakin nyaring. Ciuman kami semakin panas, tapi masih dalam gerakan yang sangat perlahan.

Aku menjulurkan kedua tanganku, meremas pantatnya yang kencang dan bulat. Dalam benakku aku sungguh ingin meng-anal adikku ini suatu hari nanti. Vany menekankan dadanya semakin kencang ke arah tubuhku. Aku dapat merasakan putingnya yang mengeras, seksi sekali.

“Gimana MOS?” kataku saat ciuman kami terlepas. Aku bertanya sambil meremas-remas dadanya yang besar. Empuk dan kenyal sekali. Rasanya sungguh berbeda dengan dada cewek-cewek lain.
“Seru… Tapi anaknya pada susah diatur… Bandel-bandel…” katanya sambil memanyunkan bibir. Aku tertawa.
“Haha.. Bandel mana sama kamu? Hm?”
“Aah Kakak…” bisiknya manja. Tangan mungilnya sudah berpindah mengusap bagian depan tubuhku sekarang. Aku memainkan putingnya yang telah sangat keras. Kujilati putting kirinya yang sensitif, sementara tangan kiriku meremas dada kanannya dengan nafsu. Vany memejamkan menikmati. Perlahan, tangannya bergerak ke arah penisku yang sangat tegang. Vany jongkok, menghadapi penisku sambil mengusapnya perlahan dengan sabun.

“Aduh kacian… Kamu tadi kena bola ya?” Vany berbicara pada penisku, seolah berbicara pada anak kecil yang lucu. Ia mengusap-usapnya, mengocoknya perlahan. Enak sekali.
“Mmhh… Van… Tuh kan… Bandel kamu…” desahku.

Vany nyengir. Ia membiarkan air dari shower membilas sabun dari penisku hingga bersih. Ia menjilat-jilat penisku dengan perlahan, dari pangkal hingga ujungnya.

“Aku sedot ya, Kak? Biar ilang sakitnya…” katanya sambil mendongak memandangku. Aku mengangguk.

Vany segera memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan, ia menggerakkan kepalanya maju, memasukkan semakin banyak bagian dari penisku kedalam mulutnya.

“Van.. Mmhh… Van ati-ati keselek…”

Vany terus memajukan kepalanya. Aku melihat semakin lama ia semakin kesulitan. Saat ¾ bagian penisku sudah masuk, aku merasa kepala penisku telah menyentuh leher dalamnya. Vany memainkan lidahnya di bagian bawah penisku. Enak sekali.

“Aaahh… Vann.. Van.. Terus gitu… Mmmh…”

Vany menyedot semakin kencang. Gerakan kepalanya pun semakin cepat maju mundur. Lidahnya terus bergerak berputar-putar di bagian bawah penisku, menjilat pangkalnya. Aku tak tahan lagi.

“OOOHH.. VAANN… Ka… Kak mau… Keluarrr… MmmmHH!!!”

Aku meledakkan spermaku ke dalam mulutnya. Mulutnya yang mungil tak sanggup menahan semprotan yang begitu kencang. Vany melepaskan sedotannya, membuat semburanku beralih melumuri wajahnya dengan cairan putih kental.

“Ooh… Vaan… Van…” desahku keenakan.

Aku bersandar lemas ke tembok kamar mandi. Vany membiarkan semburan air dari shower membersihkan mukanya. Enak sekali rasanya. Penisku masih tegang, seperti 2 kali sebelumnya, tak cukup hanya sekali aku merasakan kenikmatan adik kecilku ini.

Vany memelukku. Dadanya yang empuk menekan tubuhku. Gejolak antara akal sehat dan nafsu kembali berkecambuk di benakku. Tapi memang nafsu selalu menang. Aku sudah melangkah sejauh ini… Aku rasa sudah terlambat untuk berputar kembali. Aku menunduk, menatap Vany yang balas menatapku. Dari sorot matanya, aku tahu bahwa nafsu juga telah menguasainya.

Tanpa sepatah kata pun, aku membalikkan badannya ke arah dinding kamar mandi. Seolah tahu apa yang hendak kulakukan, Vany meletakkan kedua tangannya pada tembok untuk bertumpu, berjinjit, mengangkat pinggulnya, menyerahkan sepenuhnya vaginyanya untukku.

Aku mengarahkan penisku, meletakkannya di belahan pantatnya yang montok. Sesaat, aku ingin mengawali semuanya dengan meng-anal Vany, tapi sesaat kemudian aku telah menggeser perlahan kepala penisku ke arah bibir vaginanya yang bersih tak berambut. Kumain-mainkan bibir vaginanya dengan kepala penisku; kuusap perlahan, lembut.

“Mmh… Kak… Masukin aja langsung…” pintanya.

Aku setuju. Kumasukkan perlahan kepala penisku. Vany berjengit pelan. Aku merasakan ketegangan mengaliri tubuh adikku.

“Kamu yakin, Van?” tanyaku.

Sekali lagi, logika berteriak-teriak di pikiranku. DIA INI ADIKMU! SADAR! Aku yakin suara yang sama juga berteriak, menggedor-gedor akal sehat Vany. Tapi saat itu kulihat anggukan perlahan tapi mantap dari adik kecilku ini. Keraguanku sirna.

Perlahan, tak ingin menyakiti, aku menusukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany mengejang. Aku memasukkan semakin dalam, sudah masuk ¼ bagian sekarang. Sempit sekali… Agak sulit.

“Mmmhh… Aaahh… Aaa… Aaahhh Kak… S… ” Vany mendesah. Aku tahu pasti terasa agak sakit untuknya.

“Kalo sakit kasi tau Kakak ya…” bisikku. Vany mengangguk. Aku memasukkan semakin dalam. Kepala penisku menyentuh selaput tipis. Keperawanan Vany dipertaruhkan. Sekali lagi aku bertanya.

“Kamu bener-bener yakin…?”

Vany tidak menjawab. Tiba-tiba ia mendorongkan pantatnya ke arahku dengan kencang. Selaput daranya robek, penisku benar-benar masuk ke dalam vaginanya.

“AAAHHH….!!!!” Jeritnya kencang. Vany mengakhiri masa perawannya… Di usia 14 tahun. Aku melirik ke bawah, darah segar mengalir pelan dari arah selangkangannya, mengalir turun melalui pahanya.

“Oohh… Oohh… Masuk… Hh… Aku… Dimasukin… Ka…kak… Aaahh… Gede banget… Hhh…” desahnya, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Wajah Vany merah padam. Nafasnya tersengal. Aku tahu betapa sakitnya saat pertama. Aku membelai rambut pendeknya perlahan.

“Kalo udah ga sakit bilang ya sayang…” bisikku lembut.
“…. Mmh… Terusin aja Kak…” pintanya. “Pelan-pelan…”

Aku memasukkan penisku semakin dalam perlahan-lahan. Luar biasa sempit dan hangat di dalam. Vagina Vany seolah menjepit penisku. Aku terus memasukkan penisku hingga kepalanya menyentuh ujung vagina Vany. Vany memiliki vagina yang sangat dalam untuk cewek semungil dia.

“Siap?” tanyaku. Vany tersenyum, mengangguk.

Kutarik penisku hingga setengah jalan, dan dengan kekuatan penuh aku menghujamkannya kembali ke dalam.

“Aaahh!!! Aaahh… Kakk!! Pelan… Pelaa… AANN!! Oohh… Aaahhh!!!” Vany menjerit-jerit keenakan. Aku menggerakkan pinggulku dengan kuat. Pikiranku semakin kabur. Realitas bahwa cewek yang sedang kusetubuhi sekaran adalah adikku sendiri sedikit demi sedikit hilang lenyap.

“Ooohh… Vaaannn… Kam…u… Sempit bangeeett… Aaah… Mmmhh!!” desahku. Aku menjangkau, meremas-remas dadanya yang menggelayut, berguncang-guncang seirama hantaman penisku.
“Kaa… Aaahhh… Kakak… punya… Aaahhh… Kakak punya yang… Mmmhh!! Kegede… ann… aahhh… Mhhh!!” jawabnya tak mau kalah.

Vany mengeratkan jepitan vaginanya. Enak sekali! Penisku seperti dipijat-pijat di dalam sana.

“Aaahh… Aaahhh… Mmmmhh!!! Mmmnn… Kaak… Ohh kakk…” desahnya setiap kali penisku menghujam ke dalam vaginanya. Pinggulku seakan bergerak otomatis, tak bisa berhenti. Sempit dan hangatnya vaginanya, dipadu dengan sensasi empuk pantatnya yang menghantam-hantam pinggangku sungguh tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Kepala penisku menghantam-hantam mulut rahim Vany.

“Aaahhh!!! Kaakk… Kaa… Ooohh… Tambah… Gede… Aaahhh!!! Kakak tambah ged…eee… Lagi di… Aaahhh!!! Aaahhh!! Di dalem…MMMHHH!!! Kaaakkk!!!” Vany menjerit-jerit. Nafasnya sudah tak beraturan sekarang. Aku semakin kencang menggerakkan pinggulku. Suara pantatnya yang menghantam pinganggku menggema di kamar mandi.

“KAAKK!! KAA…KKK… LEPAS! LEPAS! LEPAAsss!! Aaakkuu… Mau… Kelu… AAARR!!!” Vany tiba-tiba berteriak. Aku terkejut, segera menarik lepas penisku dari vaginanya yang sempit. Seketika itu juga Vany menyembur-nyemburkan cairan vaginanya. Semprotannya kencang sekali dan berkali-kali. Vany merosot ke lantai, badannya gemetar hebat. Orgasme pertamanya sungguh dahsyat.

Tak menunggu lama, aku berlutut di belakangnya, kutunggingkan pantat Vany dengan kedua tanganku. Jempolku menarik bibir vaginanya lebar, dan penisku langsung menghujam dengan kuat untuk kedua kalinya ke dalam tubuh Vany. Lebih mudah sekarang, apalagi setelah squirting hebat tadi, vagina Vany menjadi sangat becek dan licin.

“Aaahhh!!! Kaaakkk… Kak! Kak… Kakk… Nnnhhh!!” Vany menjerit.

Buah pelirku menyenggol-nyenggol klitorisnya, membuat Vany semakin kegilaan menikmati seks pertamanya. Aku menggerakkan pinggulku dengan sangat cepat, menghantam bagian dalam vaginanya dengan kuat. Vany kembali mengencangkan vaginanya.

“Aah… aahhh… Aaahhh… aa… Kaak… Oohh… Ooohh… Enak… Bangett… Mmm… Nnnhh!!!” desahnya. Aku rasa saatku sudah semakin dekat.
“Ooohh… Vaaann… Kakak… Mau… Keluaarr… Mmmhhh… Mmmmhh… Aaahh…” kataku, tecekat. Vaginanya terasa begitu sempit dan nikmat.
“Aaahhh… Aaahhh… Kuarin… Di luar… Kaakk… Diluar kakk!!! Aaahh!!” pintanya.
“OOOHH!! VV… VVAANNN!!!!”

Aku mencabut penisku, menjepitkannya di antara kedua pantatnya yang kencang. Ccrroooottt!!! Crrooouuuttt!!! Crruuoottt!!!! Aku meledakkan spermaku berkali-kali dengan kencang, melumuri punggung dan pinggulnya, bahkan ada beberapa semprotan yang mengenai belakang kepalanya.

Vany terkulai, bernafas tersengal-sengal. Aku berlutut, melirik ke bawah dan terkejut. Penisku masih sangat tegang. Tubuhku seakan terus meminta tubuh Vany lagi dan lagi. Sebelum ini belum pernah aku masih tegang setelah dua kali keluar.

“Van… Lanjut di kamar aja yuk…” ajakku.
“Kakak… Hhh… Mas…Ih.. Bisa lagi?” tanyanya, tersengal. Aku mengangguk, dengan keheranan yang sama dengannya.
“Kamu masih kuat?”

Vany mengangguk lemas, masih terengah-engah dan gemetar.

Kumatikan shower. Aku mengambil handuk untuk mengeringkan badanku, kemudian kuselubungkan handuk itu ke tubuh mungil Vany yang gemetaran. Kubantu mengeringkan badannya.

Kuangkat, kugendong adikku ke kamarku. Kubaringkan ia dengan lembut di ranjangku. Aku naik ke ranjang, menunduk di atas tubuhnya. Nafas Vany sudah lebih teratur sekarang, ia menatap mataku. Dadanya yang besar bergerak naik-turun seiring tarikan nafasnya.

“Lanjutin Kak…” katanya sambil tersenyum. Tanpa kusuruh, ia mengangkat pahanya, mengangkang sangat lebar di hadapanku.

Aku mengarahkan penisku ke bibir vaginanya. Untuk ketiga kalinya, kumasukkan penisku ke dalam vaginanya yang sempit. Vaginanya yang semit seperti menyedot penisku ke dalam. Vany menggeliat, menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya mencengkeram seprei dengan erat.

Perlahan, kuhujam-hujamkan penisku ke dalam vaginanya. Tarik, masukkan, tarik, masukkan. Semakin lama semakin kuat, semakin lama semakin cepat.

“Aaahhh… AAHH!!! Teruss… Teruss…!! Terus kakk… Aaahhh!!! Ooohh Kaakk!!!” Vany mendesah liar. Matanya terpejam, menikmati.

Sambil terus menghujamkan penisku, aku meremas dadanya. Tak cukup, aku membenamkan wajahku di antara dua bantalan besar yang empuk itu. Jemariku memainkan puting-putingnya yang tegang.

“Kamu… Makan apa sih… Mmhh… Vann… Koq bisa… Mmmmhh… Gede gini?” tanyaku.
“Aaahh… Aaahhh… Gata…Uu… Mmm… Tau… Tau tau… Gede… Aaahhh…” jawabnya asal-asalan. Kujilati puting kirinya. Kusedot kuat-kuat, setengah berharap akan merasakan susu yang manis menyemprot dari dalam dadanya yang luar biasa itu. Vany meringis, cengkraman tangannya di seprei semakin erat.

“Aaahhhh!!! KaaKkk….!!! Maauu… Keluar… Lagggiiii!!! AAAHHH!!!” Vany berteriak. Squirting untuk kedua kalinya, penisku seperti disemprot cairan dingin. Aku tak peduli, kugerakkan pinggulku semakin cepat. Vany mengangkat pahanya, membantuku. Aku mencengkeram erat pinggangnya, menggerakkan tubuhnya seirama hantaman penisku. Vaginanya semakin mengencang.

Tiba-tiba, bagian dalam vagina Vany seperti bergerak memijat penisku kuat-kuat dengan bergelombang. Aku belum pernah merasakan sesuatu yang seperti ini! Terkejut, aku memperlambat genjotanku.

Aku mendongak, menatap wajah Vany yang merah padam. Dari sorot matanya aku tahu ia dengan sadar melakukan yang terakhir itu.

“Van… Va… Gimana… Yang… Ooohh yang tadi itu enak banget!!! Aahh…” kataku. Vany nyengir lemah. Dadanya mengayun-ayun mengikuti irama gerakan pinggulku.
“Kakak… Aaaahhh… Kak… Mau… Aaahhh… Mau lagi?” godanya. Aku mengangguk cepat-cepat. Vany nyengir semakin lebar.
“Tapi.. Tapi kalo kamu gitu lagi… Kakak bisa-bisa gak keburu ngeluarin di luar…” kataku, agak cemas.
“Gapapa Kak… Yang tadi itu… Mmmhh… Aku juga enak banget… Gapapa… Keluarin di dalem aja… Nnhh… ” katanya.
“Hah? Ntar… Ntar kamu…”
“…Gapapa…”

Aku tahu ini gila. Vany memintaku mengeluarkan spermaku di dalam tubuhnya. Bagaimana kalau dia hamil? Apa kata orangtuaku?

Tapi saat logika mulai merasuki pikiranku lagi, Vany menggerak-gerakkan pinggulnya. Aku seperti otomatis kembali menghujamkan penisku ke dalam vaginanya, menendang jauh-jauh logika.

Gerakan pinggulku semakin cepat dan cepat. Vany semakin mengencangkan vaginanya. Aku yakin tak lama lagi aku akan keluar jika seperti ini terus.

“Aaahhh…. AaahH!!!… Kak… Kaakk… Siaap? Aahhh… Aaa…” tanyanya. Aku mengangguk liar, semakin mempercepat genjotanku. Vany menegang, berkonsentrasi. Gerakanku semakin liar. Nafas kami memburu, tak beraturan.

Dan sensasi itu datang lagi! Vaginanya seakan menyedot penisku, dan gelombang yang sangat kuat berkali-kali datang memijat penisku. Aku tak tahan lagi, sensasi ini sungguh luar biasa!

“Vann!! OOH Vaannn!!! Kakak mau… Aaaahhh… Aaahh!!! VAANN!!! Ke…KELUAR!! Aaahh… Aaahhh!!!” pikiranku mengabur. Mataku berair.
“DI DALEM!! DI… AAHHH!!! Di daleemm…Keluarin di daleeemm!!!” jeritnya.
“VVVVVVAANN….VVAANNYY!!!!!!”

Aku meledakkan spermaku sekuat-kuatnya ke dalam rahim Vany. Aku keluar jauh lebih banyak dari yang sudah-sudah. Satu-dua-empat-enam… Penisku seakan tak mau berhenti meledakkan spermanya. Enak sekali, hangat sekali. Vagina sempit Vany tak cukup menahan muatan sperma kakaknya. Cairan putih itu mengalir keluar, melumuri bahkan penisku sendiri, mengalir membasahi sepreiku…

Aku mencabut penisku. Sudah lemas sekarang. Rasanya agak linu, keluar tiga kali berturut-turut. Cairan putih kental masih mengalir keluar dari vagina adikku, terlihat seksi sekali. Vany tergeletak lemas di ranjangku. Matanya separuh terpejam. Mulutnya menganga kecil. Keringat membanjiri tubuh kami.

Aku merebahkan diri di sebelahnya, terengah-engah.

“Van… Hhh… Thanks…”
“Iya… Aku yang thanks… Hhh…” bisiknya. “…Enak banget…”

Terdiam, hanya suara tarikan nafas terengah kami yang terdengar. Berapa lama kemudian, aku menoleh menatap adikku yang seksi ini.

“Van… Kalo kamu hamil gimana? Kakak keluar banyak banget loh tadi di dalem kamu…” tanyaku, cemas.
“Gapapa… Nanti menikah sama kakak…”
“Ngawur kamu…”

Vany tertawa. Terdiam lagi. Aku memejamkan mata, belum pernah aku merasakan seks seenak ini.
“Kamu belajar dari mana yang terakhir tadi itu?”
“Gatau… Tau-tau bisa aja…”
“Ohya? Itu enak banget…”
“Lebih enak dari Kak Grace?”
“Jauh…”

Kami terdiam.

“Kak…”
“Ya?”
“Mulai sekarang… Kalo kakak pas pengen ML… Kasi tau aku…” katanya. “Aku sepenuhnya milik kakak…”

Aku terdiam. Tak bisa menjawab. Dalam hati aku tahu kami sudah melanggar semua batas dan nilai yang normal. Tapi kenikmatan ini sungguh luar biasa.

“Papa-Mama kan pergi seminggu…” kataku. “…Banyak kesempatan…”

Vany tertawa.

“Ya…” katanya. “Ntar malem lagi?”
“Kalo kuat…”
“Besok?”
“Sepanjang hari…”

Vany tertawa lagi. Tawa yang renyah dan imut. Ia berguling, memeluk lenganku dengan sayang.

“Van…”
“Hm?”
“Kapan-kapan… Coba anal yuk…”

Vany nyengir.



Cara Pasang Apk | Cara Betting | Cara Bermain | Panduan Bermain Casino

Popular Posts