Sunday, November 18, 2018

Cerita Sex Terbaru Kenikmatan Memek Milik Dinda Taller Bank


Cerita Sex Terbaru Kenikmatan Memek Milik Dinda Taller Bank

Cerita Sex Terbaru Kenikmatan Memek Milik Dinda Taller Bank – Aku, seorang pemuda yg terpaksa kembali ke kampung halamanku karena sedang mengalami masa reses pekerjaanku yang disebabkan ada kesalahpahaman yg dilakukan di tempat kerjaanku. Keluargaku di kampung sendiri menyambutku dgn baik. Walaupun, aku kini menjadi seorang pengangguran. Tdk aku sia – siakan kesempatan untuk membantu pekerjaan orang tuaku di sebuah penginapan.

Seperti yg diketahui, pekerjaan di penginapan adalah pekeerjaan yg memerlukan tenaga extra dan konsentrasi sepanjang waktu. -cerita sex terbaru- Merapikan tempat tidur sampai menyediakan layanan laundry di lakukan oleh orang tuaku. Sebagian pekerjaan seperti menyediakan makanan dan mondar – mandir adalah tanggung jawabku. Aku menganggapnya sebagai baktiku kepada orang tua.

Pada suatu pagi. Ayahku pergi ke sebuah bank di kota untuk keperluan penarikan sejumlah uang yg tdk bisa dilakukan di mesin ATM. Menemaninya agar tdk melelahkan dirinya dan permintaannya kepadaku menjadi alasanku melakukannya. Ayahku mengambil antrian di bank. Tdk antri, karena berada pada akhir minggu. Ayahku lancar disana. Aku terfokus pada seorang teller di meja no 3.

Dari tempat ku duduk dan berdiri, memoriku memanggil kembali wajah yg rasanya tdk asing bagiku. Hanya saja, aku tdk dapat mengetahuinya kapan. Aku terus mengawasinya hingga ayahku menyadarkanku bahwa urusannya telah selesai. Dgn masih penasaran, aku meninggalkannya. Sebuah nama di tagging di pakaiannya, Adinda T.

Kembali lagi, pada awal minggu yg menyibukkan. Ayahku mengajakku kembali ke bank. Ia masih disana di meja no 3. Antriannya kali ini cukup memakan waktu. –cerita sex– Semua orang memiliki keperluan. Hampir 30 menit aku menunggu dan tiba giliran ayahku melaksanakan penarikan uangnya. Ayahku dilayani oleh teller disampingnya. Ia juga sedang sibuk dgn transaksi di mejanya. Aku iseng melemparkan sebuah pertanyaan.

“Mbak, alumni dari SMA xxx ?”
“Maaf. Mas koq tahu saya alumni SMA xxx?”
“Wajahnya gak asing di mata saya.”
“Iya, saya alumni SMA xxx kelas IPA.”
“Pantas saja. Saya juga alumni SMA xxx kelas IPS.”

Obrolan singkat ini kuakhiri karena tdk pantas mengganggu pekerjaannya. Dan, banyak orang melirik kami. Mungkin, kami terlalu memancing perhatian.

“Maaf mengganggu pekerjaanmu.”

Adinda tersenyum kepadaku. Senang sekali, dugaanku ia adalah alumni SMA xxx adalah benar. Aku keluar dari bank setelah sebelumnya aku mengisyaratkan kepergianku kepada Adinda.

Aku menggantikan ayahku melakukan keperluan menarik sejumlah uang disana. Aku mengambil nomor antrian. Ia disana dan menyadari keberadaanku. Entah sengaja atau tdk. Ia melayani keperluanku.

“Selamat siang ada yg bisa dibantu.”
“Saya ingin menarik dana senilai Rp. xx atas nama xx. Silahkan.”
“Baik. Saya terima dokumennya. Mohon diserahkan KTP untuk validasi.”
“Anda Adinda Triana dari kelas IPA 3 kalo tdk salah.”
“Iya. Anda bisa mengenal saya dari mana ya?”
“Kebetulan, Lala temanku juga ada disana.”
“Oh Lala. Iya. Aku tahu. Kalo boleh tahu anda siapa ya?”
“Aku Iwan Styawan dari kelas IPS 2.”
“Aku tahu. Kelasmu yg di pojok dekat kantin ‘kan?”
“Iya. Kelas “Two Towers” karena ada tiang di tengah kelas. 2 lagi.”

Adinda menyerahkan sebuah blangko dan KTP milikku.

“Ok, aku terima KTPku. Manggilnya Dinda atau Nanda nih?”

Aku menandatanganinya dan menyerahkannya kembali padanya.

“Dinda aja. Silahkan dilihat proses penghitungannya.”
“Baiklah.”

Uang dgn nominal 50 ribu dan 100 ribu dihitung di depanku dgn mesin penghitung uang di dekatnya.

“Sudah pas uangnya sejumlah Rp. Xxx. Silahkan dihitung kembali.”

Sejumlah bendel uang di depanku. Aku langsung membungkusnya dgn plastik hitam yg disediakan.

“Kurasa sudah pas jika yg menghitung anda. Sama – sama alumni. Aku tdk perlu ragu.”
“Baik terima kasih. Ada yg bisa dibantu, Pak Iwan.”
“Aku harap bisa menghubungimu nanti. Tdk ada lagi setelah ini. Terima kasih.”

Aku menyerahkan secarik kertas berisi nomor ponselku yg kuselipkan jatuh di mejanya.

“Aku akan menghubunginya jika ada waktu. Terima kasih telah berkunjung di Bank xxx.”

Yeah. Akhirnya aku bisa memberikan nomor ponselku kepadanya. Semoga ia merespons positif dgn tindakanku tadi.
Cukup lama setelahnya, sebuah pesan singkat masuk di ponselku berbunyi

“Hey, ini aku Dinda. Maaf, baru bisa menghubungimu. Bagaimana kabarmu?”

Aku meloncat kegirangan mendapat pesan seperti itu dan kubalas pesannya. Hal ini berlanjut dgn Whatsapp setelah beberapa hari intens berkomunikasi denganya. Ia menanggapiku dgn antusias. Begitu juga dgnku. Secara normal, Adinda adalah seorang perempuan berkulit sawo matang yg sesuai. Rambut sebahu tipis yg selalu diikatnya. Badannya berisi tdk kurus dan tdk gemuk. Aku mengagumi daya tariknya.

Tiba saatnya aku mengajaknya untuk makan malam di sebuah Cafe di kota kami. Ia menyggupi dan kami secara tdk langsung berkencan.

“Eh iya. Dinda. Gimana kerjaanmu?”
“Lancar aja. Kamu sendiri?”
“Sama lancarnya.”
“Makasih ya udah ngajakin aku makan malam.”
“Iya. Makasih juga udah mau ikut ajakan aku.”

Makan malam ini berlanjut dgn rencana makan malam berikutnya hingga kesekian kalinya. Kami semakin mesra satu sama lain. Obrolan kami sudah menjurus ke hal yg berbau seksual. Ia seorang yg open-minded tentang seksual. Ia bahkan mengakui sering membayangkan kenikmatan saat bercinta dgn pacarnya. Aku sedikit cemburu tp aku menyukai keterbukaannya.

Di alun – alun kota, aku mengajaknya jalan – jalan. Penat pekerjaannya harus menghilang.

“Boleh aku tanya sesuatu, Dinda?”
“Apa, Iwan?”
“Kamu begitu berterus terang dgn fantasi seksualmu. Aku jadi penasaran bagaimana jika kamu mewujudkannya.”
“Terkadang aku ingin sesekali membebaskan diriku. Begitu liar dan tanpa ikatan.”

Kami duduk di sebuah bangku taman yg remang – remang. Orang – orang sulit untuk melihat apa yg kami lakukan.

“Aku ingin mengatakan sesuatu. Jujur, aku menyukaimu, Dinda. Terlepas kau memiliki pacar, aku tdk peduli. Yg penting aku sudah katakan perasaanku.”
“Aku juga menyukaimu, Iwan. Tp, mengapa kamu baru datang saat aku sudah memiliki pacar?”
“Tdk apa. Aku tdk mengharapkan balasan, Dinda. Aku sudah menyukaimu tanpa perlu memilikimu.”
“Kalo ada hal yg bisa aku lakuin untuk bahagiain kamu. Aku bakal lakuin itu.”
“Pulang yuk. Udah malam.”

Dinda memegang tanganku. Ia tdk ingin aku beranjak dari tempat itu. Aku mengerti maksudnya.

“Jangan pergi. Aku belum selesai sama kamu, Iwan.”

Ia menggenggam tanganku kemudian memeluk leherku. Kepalanya disisi kepalaku. Ia memelukku penuh mesra. Layaknya kekasihnya, begitu tulus.

“Jangan pergi. Aku tahu aku salah sama kamu.”
“Kamu gak salah. Aku yg salah masuk ke kehidupan kamu.”
“Ssssttttt….”

Bibir tipisnya menyambutku lembut.

“Slup…sluph…sluph…sluph…sluph…”
“Dinda…”

Aku mencumbuinya saat itu. Lumatan bibirnya menjamah wajah dan leherku. Aku melakukan hal yg sama juga kepadanya. Aku tdk peduli jika orang memergokiku dalam keadaan seperti ini.

“Iwan…”
“Dinda…”

Aku semakin bernafsu mencumbuinya. Ia bermain tangan di luar celanaku. Terasa jarinya menekan k0ntolku yg terbungkus CD. Dicarinya kaitan restsleting celanaku.

“Tunggu, Dinda. Kurasa jangan disini. Aku tdk ingin bikin kamu malu.”
“Kamu bisa anterin aku ‘kan?”
“Tentu bisa.”

Aku mengantarnya sampai rumah Dinda dan disambut oleh kedua orang tuanya. Dinda memperkenalkanku sebagai temannya. Ia memintaku untuk tinggal sebentar sembari berganti baju dan menyiapkan minuman. Ia berganti dgn piyama yg menarik perhatianku.

“Kenapa? Ada salah dgnku?”
“Ah. Tdk, Dinda. Aku tdk pernah melihatmu memakai pakaian seperti itu.”
“Kamu ini. Minum gih keburu masih anget.”

Aku meminum teh manis yg dihidang. Cukup membuatku berenergi. Terdengar suara televisi dari balik tirai yg cukup menghalangi pandanganku ke dalam.

“Orang tua kamu masih nonton TV?”
“Mamah udah tidur sih. Papah pasti ketiduran nonton drama 80’an.”
“Oh begitu ya, Dinda.”

Tanpa babibu, aku memegang kedua tangan dan memandanginya. Ia terlihat senang aku melakukannya.

“Kamu cantik banget, Dinda.”
“Cuma di liat aja nih? Tanggung nih.”

Kami mendekatkan wajah kami perlahan. Bibir kami berpagutan pelan membasahi setiap sisinya.

“SSlllluupppphhh…..ssssssllllluuuppphhhh…..cccc Sllllluuuppphhhh……ssssslllluuuuppphhhh….”

Kami melakukannya beberapa saat. Hingga Dinda melepasnya dan menyeka bibirnya yg berlepotan liur. Mata sayunya mengamatiku. Diremasnya puting dadaku sambil ia merasakan kerasnya celana yg kupakai.

“Dibuka aja ya, Iwan.”
“Tp, Dinda. Gimana kalau papah kamu tahu?”
“Tenang aja. Udah tidur jam segini papah.”

Tdk sampai terlepas. Hanya diturunkan sepaha celana itu. K0ntolku kokoh mengeras dilihat Dinda.

“Dinda, malu aku kamu liatin terus.”
“Hihihi…punya kamu item. Padahal, udah gak kena sinar matahari.”
“Ah. Punyaku berdesir.”

K0ntolku ditiupnya. Angin dari bibirnya membelai lembut k0ntolku. Tanpa ragu, tangannya sudah memegang k0ntolku tanpa jijik. Dielus dan diurutnya halus menyebabkan aku kegelian.

“Enak, Dinda…”

Sentuhannya benar – benar menyerang di titik kenikmatanku. Aku benar – benar terbuai oleh sentuhannya.

“Mau lihat sesuatu gak?”

Dinda membuka 3 kancing piyamanya. Dikeluarkannya sepasang payudara yg terbungkus bra warna krem.

“Gimana keliatannya?”
“Putih.”
“Putih? Aku pake bra warna krem loh.”
“Kulit kamu putih.”

Dari balik branya. Tedapat tonjolan puting yg begitu menggairahkan. Ingin rasanya kuterkam dan kuhisap seperti bayi.

“Kamu bayangin dada aku gimana?”
“Ngebayangin gimana k0ntol aku jepit terus digesek – gesek sampe muncrat pasti rasanya surga banget.”

Dilonggarkannya sedikit bra yg dipakainya. Ia tdk melepaskan bra itu sepenuhnya.

“Gak usah dibayangin. Bakal jadi kenyataan.”

Dari bawah. K0ntolku masuk di antara sela payudaranya. Begitu sempit dan hangat. Lidahnya mengaliri k0ntolku dgn liurnya. Digeseknya payudara ke k0ntolku. Empuknya menghantam setiap sisi. Seperti sebatang kayu yg diletakkan di adonan kue.

“Ahh…Dinda..empuk sekali payudaramu.”
“Tdk kusangka aku akan melakukannya dgn Alumni SMA ku.”
“Aku juga tdk menygka.”

Payudara Dinda terus menggesek k0ntolku naik turun kanan kiri. Ia begitu lihai memainkannya. Kadang k0ntolku bertabrakan dgn dagunya. Kepalaku mendongak merasakan kenikmatan.

“Dinda….aku tdk tahan lagi….Dinda…”
“Cccccrrraaaaaaazzzzhhhh……..cccrrrrraaaaa aaaaazzzzhhhhh……..cccrrrraaaaaazzzhhhh….. .”

Tdk kupedulikan lagi spermaku menyembur kemana. Bebanku terlepas dgn sempurna. Kulihat, Wajah Dinda berlepotan spermaku. Payudaranya juga terkena leleran sperma.

“Berlepotan semua akunya, nih.”

Ia mengambil tissue basah membersihkan wajahnya dan dadanya. K0ntolku dibersihkan dgn tissue basah pula. Aku menghela nafas kelelahan.

“Kamu bahagia, Iwan?”
“Banget, Dinda. Aku gak pernah mikir dapet ini dari kamu.”
“Kamu juga udah jadi partner aku yg selalu dengerin aku.”

Malam semakin larut, aku pamit undur diri dari rumah Dinda. Rasanya langkahku begitu enteng. Dinda tdk lupa memberikanku sebuah ciuman mesra dan sedikit remasan di k0ntolku. Aku sangat bahagia hari ini.


Setelah itu, komunikasiku dgn Dinda makin intim. Dari Whatsapp, ia mengirimkan foto seksi tubuhnya. Tak jarang, ia memperlihatkannya secara utuh via pesan gambar dgn keterangan yg menggoda iman. Kami benar – benar melakukan obrolan seksual yg rutin.

Tiba pada sebuah kesempatan, Dinda memberitahu bahwa ia akan dipindahtugaskan ke luar kota selama beberapa bulan. Aku belum melakukan hubungan seksual dgn Dinda dan ia akan pindah ke luar kota secepatnya. Dinda tdk dapat menolaknya. Hal ini merugikanku dan menguntungkan pacarnya yg ternyata tinggal di kota yg akan menjadi tempat kerja Dinda.

Kami bertemu di sebuah Cafe. Suasana hatinya kalut. Ia tdk ingin pindah dari kota ini.

“Kapan kamu akan pindah?”
“Akhir minggu ini. Waktuku tdk banyak lagi disini.”
“Harusnya kamu seneng bisa deket sama pacar kamu.”
“Tp, enggak deket sama kamu.”
“Jangan pikirin aku. Tugas kamu lebih penting. Kebahagiaan kamu juga dipikirin.”
“Aku gak sanggup ninggalin kota ini. Mamah, papah, temen – temen. Terutama, kamu Iwan. Kenangan sejenak itu menghibur aku.”
“Dinda. Kamu pasti bisa ngejalanin ini semua. Aku yakin itu.”
“Makasih udah nenangin aku, Iwan.”

Aku membawanya ke sebuah hotel. Kuharap ia bisa menenangkan diri di kamar hotel. Ia terduduk di dekat kasur. Aku menatapnya kasihan dan mendekati tubuh lemahnya. Kepalanya menyandar di bahuku.

“Pikiran kamu jangan dibikin gak enak, Dinda.”
“Untung ada kamu di sisi aku.”

Kami berciuman di tepi ranjang. Malam ini akan menjadi malam terakhir aku bertemu denganya. Aku akan berusaha membuat malam ini tdk terlupakan.

Aku memesan makanan hotel untuk Dinda. Aku tahu ia di Cafe tdk menyentuh sama sekali minumannya.

“Jangan memikirkannya terlalu keras. Aku tahu kamu belum makan.”

Kami makan malam di kamar hotel. Suasana yg dibangun terasa spesial karena hanya kami berdua saja. Meski tdk terlalu semangat, ia tetap memakan makanannya agar tdk kehilangan energi.

“Kamu sampe repot mesen layanan kamar.”
“Gak repot, Dinda. Tinggal telepon. Makanan dianterin.”
“Kamu ini selalu bikin hal mudah.”
“Perasaan kamu aja.”

Dinda bangkit setelah makan.

“Aku mau ke kamar mandi dulu.”
“Oke. Tadi aku udah ke kamar mandi.”

Dinda masuk ke kamar mandi. Aku membersihkan bekas makanan dan merapikan semuanya. Harus terlihat rapi dan bersih. Kondom-ku terjatuh saat aku mengeluarkan dompet.

“Jangan berpikir macam – macam, Iwan.” Gumamku.

Aku mengembalikannya lagi ke dalam dompet. Dinda keluar dgn pakaian minim. Tubuhnya terbalut pakaian dalam berenda sedikit. Berwarna merah muda. Dadanya ketat membusung akibat pakaiannya. Semua lekuk tubuhnya terlihat jelas. Paha mulus Dinda tersibak tdk ada cela.

“Dinda, kamu…”
“Jangan diliatin terus akunya.”

Dinda berusaha menutupi badannya walau hal itu sia – sia.

“Lagian kamu pake baju kaya gitu sih. Aku ini normal.”
“Kamu juga udah pernah liat payudara aku kan?”
“Iya. Dari foto. Belum secara langsung.”

Ia mengendurkan tali itu kebawah dan payudara itu tersingkap. Payudaranya mengendur ke bawah. Namun, mataku tetap tdk bisa berpaling. Dgn puting coklat yg menggoda.

“Liat yg asli sama yg di foto beda ‘kan?”
“Beda banget, Dinda.”

Entah karena apa, aku langsung menghisap putingnya. Ia terkejut dan menariknya dari bibirku.

“Kamu apa – apaan sih, Iwan?”
“Buat tahu kalo itu asli.”
“Ya jelas asli. Masa’ kamu gak bisa bedain mana yg asli sama yg palsu. Dasar mesum.”
“Maaf, Dinda.”

Ia marah kepadaku. Aku juga salah tingkah. Mengapa begitu bernafsu kepadanya. Kami saling berdiam diri selama beberapa menit untuk meredakan ketegangan.

“Maafin aku, Dinda.”
“Bodo ah.”

Aku menyergapnya. Mencumbuinya dgn mesra dan cepat. Awalnya, ia menolakku. Tp, dasarnya saling suka. Dinda luluh dan mulai mengikuti apa yg kulakukan.

“Ccccllluuupppphhh…..cccccllllluuuuppphhhhh….. cccccclllllluuuupppphhhh….”
“Ooooccccchhhhh……mmmmmmmhhhhh……”

Ciuman – ciuman mesra kudaratkan di lehernya. Tanganku meremas lembut kedua payudaranya. Dinda mengeluh kesakitan.

Kuteruskan hingga ia mulai menikmatinya. Tangannya ikut meremas kemudian yg segera aku menyusu kiri kanan dan keduanya.

“Posisi 69 yuk, Dinda?”
“Mau. Pengen nyobain dari lama.”
“Belum pernah?”
“Belum.”
“Pacar kamu gak mau?”
“Enggak. Katanya jijik.”
“Siapa bilang. Justru enak. Pacar kamu diajarin gih.”

Aku berada di bawah. Dinda melepaskan pakaian dalamnya. Bongkahan pantat seksi itu menyambutku. Tdk terasa, celana dan CD ku dilucuti oleh Dinda. Bibirku sibuk berkecipak di bibir memeknya. Warna pink merekah terlihat. Bulu halus di sepanjangnya tdk menghalangiku.

“Sssslllluuuurrrrppppp……..sssssllllluuuuurrrrr rppppp……ssssssllllllluuuuuuurrrrrppppp…..”

Dinda juga begitu bernafsu dgn k0ntolku. Dilahapnya tdk terkecuali. Zakarku pun tdk luput dilahapnya. Lidahnya menyeret kulit sensitif menimbulkan sensasi gairah. Ia menohokkan k0ntolku jauh ke dalam kerongkongan seperti profesional.

“Ssssllllloooorrrrppphhhh……..ssssslllllloooorr rrrpppphhhh……ssssssllllllooooorrrrrrpppphhhh.. .”
“Ccccccrrrrrrrrrrsssssshhhhhh……”

Memeknya mengejang menjauhi mukaku. Darinya, mengalir cairan bening yg menetes di mukaku. Ia melihatku takut aku akan marah kepadanya.

“Iwan, aku pipis. Jorok banget ngencingin kamu.”
“Bukan ngencingin, Dinda. Tp, itu cairan nikmat dari memek kamu. Gimana rasanya?”
“Lemes kaya abis masturbasi.”

Kami kembali ke posisi semula. Kami berpelukan dgn tubuh telanjang dan menempel satu sama lain. Tangan Dinda menggenggam lemah k0ntolku yg tegang.

“Kenapa Dinda?”
“Gak apa. Punya kamu bikin aku seneng. Jadi betah maininnya.”
“Hehehe…ini punya kamu semua.”
“Boleh minta sesuatu?”
“Apa Dinda?”
“Dimasukkin punya kamu ke punya aku. Aku mohon pengen banget ML sama kamu. Besok aku udah pergi.”
“Pake kondom yah.”
“Gak mau. Nyelip rasanya.”
“Buat kesehatan kamu juga, Dinda.”

Dinda mengangguk pelan. Ia menyobek kemasan kondom dan memakaikannya ke k0ntolku. Dibasahinya liang memek dgn liur ditangan. Kini, ia telah siap. Kedua tangannya merangkul di bawah ketiakku.

“Ssssssssslllllllllllllleeeeeeeeeppppppphhhhhh…. ….”
“Aaaaaaaaaahhhhhhhh…….”

Dilihatnya k0ntolku yg sudah masuk ke dalam memek. Cengkramannya lembut menyenangkan. Kudiamkan sejenak agar ia terbiasa. Matanya mengerling memberikan tanda aku harus mulai menggerakkannya.

“Ooooocccccchhhhhh……..mmmmmmmmhhhhhh………. sssssssssshhhhhhhh……mmmmmmhhhhh……….aaaaa aaaaacccccchhhhhh”
“Ploph..ploph…ploph…ploph…ploph…ploph…pl oph….”

Aku memacu tubuhnya dalam posisi misionaris. Aku menciuminya agar tdk bersuara keras. Tanganku menjelajah payudaranya meremas dan memilin putingnya seperti adonan. Ia meminta ganti posisi. Gaya doggie menjadi pilihanku selanjutnya. Pantatnya terangkat saat k0ntolku tertancap. Kedua pantat ini bergoyang – goyang menambah semangatku. Dinda sendiri menekuk tubuhnya dan kepalanya menyentuh kasur. Dinda meresah sakit.

“Ssssssllllleeepppphhhhhh…….ssssslllll lleeeeeppppphhh……..ssssslllllleeeeppppph hhh…..”

Pantat Dinda menggodaku untuk menamparinya. Bekas merah hasil tamparanku tergambar jelas. Ia berteriak saat tanganku menyambar kulit pantatnya.

Selesai dgn gaya doggie. Aku duduk melanjarkan kakiku ke depan. Punggungnya tersandar di udara. Dinda memegangi bahuku. Kakinya menekuk di samping badanku. Memeknya masih melekat di k0ntol.

“Ini apa nama gayanya, Dinda?”
“Gak tahu. Tp, enak pokoknya.”

Kali ini, Dinda yg menggerakkan badannya memacu memeknya. Temponya beringsut naik.

“Cplok…cplok..cplok…cplok…cplok…cplok…cplok…c plok…cplok…cplok..”
“Mmmmmmmhhhhhh…….aaaaaaacccccchhhhh……..sss ssshhhhhhhhhh…..”

Memeknya semakin basah melumuri k0ntol berkondomku. Aku tdk mau berdiam diri dgn keadaan ini. Aku turut menggenjot k0ntolku. Semakin cepat k0ntolku menumbuknya. Pelukannya semakin erat. Nafasnya semakin berat. Kaki dan tangannya melingkar di badanku tdk mau lepas.

“Dinda…aku..mau…keluar…”
“Huum…di luar aja.”

Aku memacunya kembali ke posisi misionaris. Sebentar saja, aku mengangkat k0ntolku keluar membuang kondomku.

“Dinda….Hhhhhhhnnnnggggghhhhhh….”
“Ccccccrrrrrrrreeeettttttttttsssssss……..cccc ccccrrrrreeeeetttttssssss…….cccccccrrrrreeeee tttttttssss….”

Spermaku berhamburan keluar berleleran di badannya. Di wajah, rambut, dada dan perutnya semuanya terkena. Ia mengocok k0ntolku hingga spermaku habis dan lemas. Aku berbaring disampingnya kelelahan. Dinda masih terbaring dgn sperma yg belum dibersihkan. Dibiarkannya mengering dgn tubuhnya.

“Iwan, makasih udah bikin malam ini berkesan.”
“Aku juga, Dinda. Kamu mau ngelakuin ini sama aku.”
“Temenin aku istirahat malam ini yah. Aku gak tahu kapan lagi bisa seperti ini sama kamu.”

Aku memeluk tubuh dan mengecup keningnya. Penampilan acak – acakannya membuatnya terlihat cantik alami. Kami meringkuk lelah dalam selimut.

Singkatnya, Dinda pindah ke luar kota dgn dijemput pacarnya. Aku tdk bisa menemaninya. Sebelum berpisah pun, aku sempat mengulang ML denganya. Ia mengirim foto dan video yg menampilkan tubuhnya dan saat masturbasi. Sebuah hadiah yg indah untukku.

Di bank xxx. Aku duduk di ruang tunggu depan meja teller. Teller nomor 3 berpapan nama “closed”. Pikiranku melayg saat pertama kali bertemu denganya.



No comments:

Post a Comment

Cara Pasang Apk | Cara Betting | Cara Bermain | Panduan Bermain Casino

Popular Posts