Tuesday, July 2, 2019

Dirimu Mengalihkan Duniaku

Dirimu Mengalihkan Duniaku

Dirimu Mengalihkan Duniaku


Drrtt.. drrtt..
“Halo?”
“Bu Susan, saya mau curhat, ada waktu ndak?”
“Eh, iya, Andi ada apa? Saya longgar ini. Anak-anak juga sudah tidur. Suami juga belum pulang.”
“Bu, saya semakin tersiksa dengan perasaan ini. Lama-lama saya tidak sanggup. Saya ingin melebur rasa ini tapi tidak bisa. Rasa cinta dan sayang saya sama Nada semakin mendalam. Saya ingin menyerah saja, Bu, tapi ini sulit.”
“Tenang, Ndi? Aku tau perasaanmu.”
“Saya sudah mencoba mendekat, tapi tidak ada respon dari Nada. Saya mencoba memberi harapan tapi tak ada balasan dari Nada. Padahal saya serius, Bu. Bahkan sebenarnya saya berniat menikahinya.”
“Nada memang kuat dalam berprinsip. Semua ini mungkin karena janji yang telah dia utarakan pada almarhum suaminya. Dia berjanji untuk tidak menikah lagi. Dan dia adalah tipe orang yang sangat setia. Dia sangat mencintai almarhum suaminya.”
“Apa lebih baik saya pergi dari kehidupannya ya, Bu?”
“Aku sebenarnya juga kasian sama kamu. Kamu sudah dengan sabar menunggunya dan berjuang sampai sejauh ini. Tapi hasilnya nol. Aku yakin ini ujian terberatmu dalam mencintai Nada.”
“Saya rasa saya sudah tidak bisa lagi meyakinkan Nada. Saya ini hanya bayangan bagi dia. Yang tidak bisa dia genggam maupun dia miliki.”
“Aku mengerti apa yang kamu rasakan. Aku sudah berusaha menyatukan kalian tapi semua kembali ke hati masing-masing.”
“Iya, Bu, saya tau itu. Saya sangat berterima kasih Ibu sudah membantu saya sampai sejauh ini. Tapi tampaknya saya harus menyerah. Saya melihat sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan.”
“Yang sabar, Ndi, saya yakin, kalau bukan dengan Nada, kamu pasti akan mendapatkan yang lebih baik lagi.”
“Insya Allah, Bu. Oh iya, Bu, saya mau minta tolong sekali lagi. Saya akan mengajukan resign akhir bulan ini. Mohon dipercepat acc nya ya, Bu?”
Susan tersentak. “Apa harus seperti itu. Karir kamu sudah bagus lo, Ndi? Apa begini saja, saya usahakan agar kamu dipindahkan ke luar kota.” Susan memberi saran.
“Tidak usah, Bu, terima kasih. Ibu sudah banyak membantu saya. Tapi apapun yang akan Ibu lakukan, saya tetap tidak bisa hidup di bawah atap yang sama dengan Nada. Itu akan menambah luka hati saya.”

Sabtu ini Andi tetap ke rumah seperti biasanya. Kali ini dia hanya membawa satu saudara perempuannya. Padahal sebelumnya dia selalu membawa kawanan manusia hingga membuat rumahku ramai seperti orang punya kerja. Namun malam ini aku merasa ada yang berbeda dari Andi. Memang sih perlakuannya dengan Kezia masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi tidak denganku. Kali ini dia lebih banyak diam. Padahal biasanya meski baru sampai depan gerbang saja dia sudah ceriwis minta ampun dan juga ngegombal alay. Tapi untuk malam ini dia tampak murung. Kupikir apa dia sedang ada masalah. Namun saat aku bertanya tentang hal itu dia hanya menggeleng sambil tersenyum. Tapi kulihat senyumnya pun aneh. Dia berbeda malam ini. Jujur, aku merasa kehilangan sosoknya.

Tok-tok-tok..
“Assalamualaikum..” seseorang menyapa dari luar.
“Ah, Ibu?” lonjakku ketika tau yang datang adalah Ibu mertuaku. “Tumben, ada apa, Bu?” tanyaku kemudian sambil menggandeng lengan Ibu masuk ke rumah.
“Aku hanya mampir sebentar. Adikmu sabtu depan akan dilamar. Ibu mau kamu datang sama Kezia. Oh ya, tolong beritau orangtuamu, suruh mereka juga datang.”
“Baiklah, Bu. Insya Allah.”
“Oh, lagi ada tamu, ya?” seru Ibu begitu melihat Andi dan sepupunya sedang bermain bersama Kezia. Kezia yang mendengar suara neneknya langsung berlari menghampiri. Dia pun menarik tangan Andi untuk ikut bersamanya.
“Nenek..?” suara Kezia sangat bahagia. Dia lalu membenamkan tubuh mungilnya di dada neneknya. Neneknya membalas dengan pelukan hangat.
“Cucuku cantik.. sayang.. nenek kangen..”
“Nek.. ini papa!” seru Kezia tiba-tiba yang membuat aku tercekat. Seisi ruangan saling berpandangan. Apa maksud anak ini berkata demikian.
“Oh.. ini teman kerjaku, Bu. Namanya Andi. Kebetulan sama dengan nama papanya Kezia.” aku membuyarkan pemikiran orang-orang. Aku mencoba menganalisa maksud ucapan anakku itu. Semoga saja jawabanku sama dengan apa yang Kezia maksudkan.
Ibu manggut-manggut. Andi segera meraih tangan Ibu dan mencium punggung tangannya.
“Saya Andi, Bu. Temannya Mbak Nada.”
“Saya mertuanya Nada, Nak.” kata Ibu lembut.
“Kamu harusnya menikah lagi, Na.” Ibu kembali memulai setelah beberapa saat.
“Ah, Ibu. Saya tidak berpikir seperti itu.”
“Kenapa? Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang.”
“Bu, saya sudah 38. Sebentar lagi kepala 4.” aku mengingatkan.
“Memang kenapa dengan usia 38. Kalau masih ada yang mau menerima kamu apa adanya tidak ada salahnya kan? Lagian Kezia juga butuh sosok ayah. Kamu juga butuh pendamping hidup. Biar kelak kalau Kezia sudah menikah kamu masih ada teman untuk berbagi. Syukur-syukur kamu bisa kasih adik lagi buat Kezia.”
“Ah, Ibu, tapi, Bu, saya tidak bisa melanggar janji saya sama Mas Andi. Saya sudah berjanji untuk tidak menikah lagi.”
“Na, Ibu tau betul watak Andi. Dia pasti merestui kamu untuk menikah lagi. Lagipula ini demi kebaikanmu dan Kezia.”
“Tapi, Bu..”
Ibu memegang pundakku meyakinkan. “Menikahlah, Na?” Aku terdiam.
“Kurasa lelaki yang bersama Kezia saat ini pantas untuk kamu.”
Aku mengernyitkan dahi. Kenapa tiba-tiba Ibu bisa berkata demikian. Dan beliau juga senyum-senyum sendiri melihat Andi yang masih asyik bermain bersama Kezia.



“Bu, sebenarnya ada yang bilang kalau lelaki yang sedang bersama Kezia itu punya perasaan khusus dengan saya. Tapi saya tidak bisa menerimanya kalau kenyataannya seperti itu. Saya terlalu tua untuk dia. Usia kami terpaut sepuluh tahun. Saya kasian kalau dia harus menjadi penopang saya dan Kezia. Masa depannya masih panjang dan dia lebih pantas untuk gadis yang seusia dengannya.”
Kali ini Ibu menggenggam tanganku. “Kalau menurut Ibu, usia bukan masalah. Selama dia bisa menerima kamu dan bertanggung jawab atas hidup kamu dan Kezia. Siapapun itu, Na, Ibu merestui. Dan atas nama Andi suamimu, Ibu merestui jika kamu menikah lagi.”

Hari terus berlalu. Tapi aku merasa semakin hampa. Itu karena sejak Sabtu terakhir Andi ke rumah dia sudah tidak lagi ke rumah meski hanya sekedar menemui Kezia. Dan Kezia sering menanyakan keberadaanya. Tapi aku tidak bisa menjawab apapun. Aku hanya memberi alasan kalau Andi tugas ke luar kota.

Perubahan sikap Andi tidak hanya sekedar berhenti ke rumah. Bahkan di kantor pun sikapnya sangat cuek. Dia cenderung menghindar dariku. Aku sangat ingin menanyakan sebabnya tapi dia tidak pernah mengijinkan aku untuk bicara. Dia selalu beralasan kalau sedang sibuk. Terus terang aku merasa sangat sedih. Aku merasa kehilangan. Aku juga galau. Keceriaan yang diciptakan oleh Andi dan kehadirannya untuk memenuhi ruang hatiku yang kosong kini sirna.

Saat sendiri kadang aku berpikir apa aku sudah jatuh cinta pada Andi? Kali ini aku telah merasakan apa yang dulu pernah kurasakan pada Mas Andi. Aku menjadi resah, gelisah, susah tidur, rindu, ingin dekat dengannya. Dan saat mengingatnya aku bisa tertawa dengan sendirinya. Apakah aku sungguh-sungguh telah jatuh cinta?

Siang itu aku hendak menghampiri Susan untuk makan siang. Namun langkahku terhenti saat mendengar pembicaraan antara Susan dengan seseorang di dalam ruangan HRD.
“Surat resign kamu sudah di acc atasan.”
“Terima kasih atas bantuannya, Bu.”


Tanpa berpikir panjang aku langsung membuka pintu dan membuat dua orang di dalamnya menatapku tajam. Tapi aku tidak menghiraukan mereka. Mataku fokus pada map merah yang diberikan Susan pada Andi. Aku tau betul kalau HRD memberikan map merah pada karyawan, itu berarti isinya surat keterangan pernah bekerja. Dan itu tandanya karyawan tersebut resign dari perusahaan.

Tiba-tiba hatiku sangat sakit. Aku tidak bisa menahan sesak di dadaku. Aku berlari begitu saja sambil menitikkan airmata. Saking tidak pedulinya dengan sekeliling aku tidak sadar kalau aku berada di salah satu bangunan kantor yang sedang direnovasi. Dan akhirnya..


Selang oksigen yang memenuhi hidungnya, infus yang mengaliri tubunhnya juga jarum suntik yang menancap di tangannya membuatku miris. Ditambah lagi dengan perban yang membalut kepala juga tangan kirinya membuat aku semakin takut. Saat ini aku benar-benar tidak bisa mengungkapkan rasa yang bergejolak di hatiku. Aku benar-benar takut kehilangan dia. Dan aku tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya. Entah kenapa hati ini tiba-tiba merasa tidak sanggup.

Dia lakukan hal bodoh apa saat itu. Saat aku tidak tau kalau ternyata dia mengejarku saat aku tau dia akan resign. Dan saat tiba di bangunan yang sedang direnovasi untung saja aku selamat dari runtuhan tembok yang dipugar oleh tukang. Tapi tidak bagi Andi. Dan aku baru tersadar dia sedang berusaha menyelamatkanku dari malapetaka. Tapi apa hasilnya, sekarang justru dia yang harus menderita karena runtuhan itu jatuh mengenai kepala juga tangannya.


Pagi itu seusai solat subuh aku masih bertahan di mushola. Sudah dua hari Andi belum juga sadar. Aku semakin kalut dan hanya bisa menahan duka yang membebani pundakku. Beberapa saat kemudian Susan menghampiriku.
“Sabar, Na. Semua akan baik-baik saja.”
Aku pun menangis sejadi-jadinya. Menyandarkan kepalaku di pundak Susan. Susan mengelus kepalaku. “Cinta sudah menemukan jalannya.” bisik Susan.
“Aku tidak mau kehilangan dia.” isakku.


Hari keempat. Andi akhirnya membuka matanya. Samar-samar dia melihatku tertidur di samping tempat tidurnya. Dia tersenyum. “Cantik. Kamu masih bisa tampak polos seperti ini. Sudah berapa lama kamu menungguku bidadariku? Kamu tampak lelah.” batin Andi.
Aku terbangun begitu ada gerakan yang mengguncang tanganku. Aku melonjak bahagia begitu melihatmu membuka mata. Kekosongan hatiku kembali terisi begitu menerima keajaiban ini. Aku segera memanggil dokter untuk memeriksa Andi. Setelah beberapa saat diperiksa, dokter mengatakan kalau Andi sudah mulai membaik dan sudah terbebas dari masa kritisnya. Sesegera mungkin dia akan dipindah ke bangsal.


“Aku tidak ingin kehilangan kamu.” kata-kata itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutku.
“Aku tidak akan pergi darimu. Aku masih ingin menjagamu.” Andi mencoba berbicara meski dengan suara pelan. Aku menangis.

“Hapus air matamu. Aku tidak ingin melihat itu. Aku berjanji tidak akan pernah membuatmu menangis lagi.”

“Simpan tenagamu.” kataku lirih.
“Aku bahagia karena luka di kepalaku tidak membuatku lupa padamu. Dan satu-satunya orang yang membuatku semangat untuk tetap hidup adalah kamu.. Nada..”

Andi berangsur sembuh. Lusa kalau kondisinya semakin membaik dia diperbolehkan pulang. Selama dia di rumah sakit aku dan Kezia senantiasa menemaninya. Aku merasa kita sudah seperti keluarga kecil. Kezia sangat senang bersama Andi. Aku pun demikian. Aku tidak menyangka kalau ternyata aku bisa jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama bertahan pada almarhum Mas Andi akhirnya hati ini luluh juga pada sosok Andi yang lain. Duniaku telah berubah.




“Hai.. keluarga bahagia?” sapa Susan. Dia lalu menghampiriku dan Kezia lalu menciumi pipi kami.

“Andi apa kabar hari ini?” tanyanya kemudian pada Andi.
“Alhamdulillah sehat, Bu? Berkat kedua bidadari ini saya cepat sekali sehat. Oh, iya, Bu Susan, boleh saya minta tolong satu hal?”
“Apa itu?”

“Saya ingin kembali menjadi karyawan di perusahaan yang sama dengan Nada. Bisa kan, Bu? Please?” Andi memohon sambil menangkupkan kedua tangannya.
“Bisa sih? Tapi dengan satu syarat. Kamu harus menikah dulu dengan Nada.”
Andi mengacungkan jempolnya. “Siap, Bu! Bulan depan saya akan mengikat Nada untuk menjadi istri saya.”

“Hah? Secepat itu?” Susan terbelalak. Dia melirikku. Aku mengangguk.
“Iya, San. Bulan depan aku akan menikah.” sambungku kemudian.
Susan memelukku. “Finnaly..”



Tiga bulan setelah pernikahanku.
“Hari ini Kezia sangat manis. Dia tau kalau Papa dan Mamanya sedang ingin berduaan.” Andi membuka pembicaraan saat kami bersantai di atas ranjang.
“Iya. Anak itu tidak bisa lepas dari kamu. Apa-apa kamu. Mintanya sama kamu. Mamanya dikalahkan begitu saja.” protesku.

Andi melingkarkan tangannya di pundakku. Aku pun bersandar di pundakknya. “Ya sudah kalau begitu mama Nada sama papa Andi saja.” Andi menggoda.
“Kadang aku heran sama kamu, kamu ini kadang masih tampak kekanak-kanakan. Masih manja sama aku. Tapi ternyata kamu juga bisa menunjukkan sikap dewasa kamu padaku ketika dibutuhkan.”

Andi menatapku lekat. “Biar bagaimanapun aku ini masih sepuluh tahun lebih muda darimu, sayang. Jadi wajarlah kalau aku masih punya sifat manja dan ingin diperhatikan. Tapi di sisi lain aku juga harus sadar kalau aku ini suamimu dan juga ayah dari Kezia. Aku harus punya tanggung jawab dan tingkat kedewasaan yang tinggi untuk mengimbangi itu.”
“Oh, iya, ada satu hal yang dari dulu ingin aku tanyakan.”
“Mmm.. apa itu sayang?” Andi penasaran. Dia kemudian merubah posisi duduknya. Kali ini kami berhadap-hadapan.

“Apa yang membuatmu jatuh cinta padaku dan mau berkomitmen padaku. Padahal kamu tau kalau aku ini janda beranak satu.”





Andi menghela nafas lalu menggenggam tanganku erat. “Semua didasari dari rasa ikhlas. Dari awal bertemu kamu, aku sudah ikhlas mencintai kamu. Meski aku tau statusmu, tapi entah kenapa rasa ini muncul begitu saja dari hatiku. Aku sadar saat itu mungkin aku tidak bisa memilikimu. Tapi aku juga tidak tau kenapa aku punya keyakinan akan menjadi pendamping hidupmu.”


“Kamu tidak akan menyakitiku kan?” tanyaku penuh kekhawatiran.
Andi menggeleng. “Tidak akan sayang. Aku sudah berjanji tidak akan membuatmu menangis. Aku akan membahagiakanmu dan aku juga tidak akan menuntut apapun dari kamu. Aku ikhlas mencintai kamu. Aku hanya ingin menghabiskan sisa umur kita bersama selamanya.”

Aku menitikkan air mata haru. “Terimakasih, Ndi, berkat kamu aku bisa jatuh cinta lagi. Kamu bisa mengubah duniaku dan membuat hidupku kembali berwarna.”
Andi mengusap air mataku. “Aku tidak akan menghapus almarhum suamimu dari memorimu. Aku hanya ingin menjadi penopangmu agar kamu tetap kuat menjalani hidup.”
“Aku mencintaimu, Ndi.”
Andi tersenyum bahagia.



“Oh iya, aku punya hadiah buat kamu.” kataku kemudian sambil menyerahkan amplop putih pada Andi. PREDIKSI TOGEL JITU  SEMUA PASARAN
“Hadiah? Dalam rangka apa? Ini bukan hari ulangtahunku, sayang? Ini juga bukan hari pernikahan kita maupun kenaikan jabatanku.” Andi kebingungan.
“Tidak dalam rangka apa-apa. Sudah buka saja.”
Andi melonjak girang begitu melihat isinya. Dia tampak seperti anak kecil yang mendapat permen. Wajahnya menggemaskan.
“Hore!!! Aku akan menjadi ayah, sayang??!! Aku bahagia!!” teriaknya. Kemudian dia mengecup keningku dengan lembut.






No comments:

Post a Comment

Cara Pasang Apk | Cara Betting | Cara Bermain | Panduan Bermain Casino

Popular Posts